Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 2
Waktu terus bergulir, roda kehidupan terus berjalan. Dengan rasa malas aku berjalan menuju ruang kamarku. Dirumah kontrakan yang kusam ini, rumah ini mengingatkanku pada rumah yang ada didesa. Rumah tua, yang dihuni oleh Ayah, Ibu dan Nurul adikku yang masih duduk dibangku SMU. Entah sekarang bagaimana keadaan Ayah dan Ibu, semoga mereka baik-baik saja. Aku juga kangen dengan Nurul, kangen saat bertengkar dengan Nurul.
Kuletakkan tas yang sudah lama berada dipunggung ini, sambil duduk dalam kasur kusam yang selalu menyangga dalam setiap tidurku. Rasa penat melanda dalam setiap relung pikiranku, ditambah dengan rasa capek yang mendera ditubuhku. Ingin rasanya aku langsung terbuai dengan mimpi-mimpi indah. Mimpi-mimpi bertemu dengan para syuhada, dan bertemu dengan bidadari surga. Kalau mimpi yang kedua itu, pasti selalu ditunggu-tunggu. Saat aku lihat kaset IZIS (IzatullIslam) dengan bungkus dan segel yang belum terbuka. Karena memang baru aku beli kemarin, berada diatas tape Simbaku. Tape yang kubeli dengan menabung selama dua tahun, dan barang termahal pertama sampai saat ini yang bisa aku beli. Dengan santai aku ambil kaset itu, serta membuka bungkus dan segel kaset lalu memasukkan kaset kedalam tape.
“Dimana dicari pemuda kahfi Terasing demi kebenaran hakiki Dimana jiwa pasukan badar berani Menoreh nama mulia perkasa abadi Umat melolong di gelap kelam Tiada pelita penyinar terang Penunjuk jalan kini membungkam Lalu kapankah fajar kan datang Mengapa kau patahkan pedangmu Hingga musuh mampu membobol bentengmu Menjarah menindas dan menyiksa Dan kita hanya diam sekedar terpana”
Sayup suara nasyid IZIS, serta hembusan kipas angin mini. Membuatku melayang jauh dan terbang, terbang bersama segerombolan cahaya-cahaya yang terang. Tak seberapa lama suara “Assalamualaikum” Dengan lirih aku menjawab sambil tersenyum “Walaikumsalam”. Aku benar-benar merasa dalam segerombolan keindahan-keindahan yang datang kepadaku, datang dan saling berpelukan. Memelukku erat, pelukan persaudaraan yang sangat erat dan kental. Tak lama aku mendengar suara “Akh, Akhi! Bangun. Sudah jam empat sore! Bangun, Akh. Apa antum sudah sholat Ashar!”
Aku mencoba untuk membuka mata, tapi mata ini terasa sangat berat untuk membukanya. Dan tubuh ini benar-benar sangat payah, serta sangat susah untuk digerakkan. Tak seberapa lama, aku pun bisa mengontrol diri. Ternyata Yanto sudah berada dikamarku. Sambil melihat kaset baruku. IZIS.
“Hem antum mengagetkan ana aja, akh!” ucapku dengan rasa yang sangat malas sambil bersandar pada dinding kasur yang terlihat cat-catnya mengelupas.
“Antum tadi jawab salam ana, tapi ana lihat antum masih memejamkan mata!” jawab Yanto sambil membolak-balikkan kaset IZIS.
“Loh! Jadi antum tadi, yang salam! Ana kira itu salamnya cahaya-cahaya indah yang baru ana lihat tadi” jawabku sambil mengusap-usap mataku.
“Iya itu ana! Wah, antum bermimpi apaan Akh? Nggak bermimpi ketemu bidadari di surga kan?” jawab Yanto dengan senyum.
“Antum itu ada-ada saja, Akh! Antum dari mana, kok jam segini baru pulang?” tanyaku “Ana, dari ikut kajian! Biasalah, hari ini ana kan Liqo’!” Ucap Yanto. Setelah itu dia melanjutkan perkataannya “Akh, antum punya kasetnya IZIS yach? Wah pasti boleh dipinjam nich!”
“Antum, satu rumah kok pake’ pinjam-pinjaman segala! Kalau mau pinjam ya ambil aja, tapi setelah itu dikembalikan, jangan seperti biasanya! Atau antum putar di tape ana aja, tape antum kan rusak akh!” ujarku sambil beranjak untuk berwudhu.
Tak lama setelah aku berwudhu, terdengar IZIS mengumandang keras.
“Berkobar tinggi panaskan bumi. Membakar ladang dan rumah kami. Darah Syuhada mengalir suburkan negri Tiada kata lagi…. Kami harus kembali!”
Saat aku lihat, ternyata Yanto memutar kaset IZIS sambil bernasyid dan mengepalkan tangannya dengan bersemangat. Sungguh memang luar biasa, nuansa yang ditimbulkan oleh nasyid. Nasyid bukan seperti lagu Islam yang lainnya, nasyid adalah ruh dari setiap perjuangan para mujahid. Nasyid tidak seperti lagunya Gigi, yang mengumandang keras tetapi tidak bersemayam dihati. Apalagi nasyid tidak seperti lagu-lagunya Dewa, yang bernada sombong seperti pemainnya. Nasyid bukanlah seperti lagu-lagu lainnya, karena nasyid punya pembeda, pembeda dari lagu cengeng percintaan yang memabukkan. “Akh, tolong kecilkan! Ana mau sholat” pintaku
“Akh, biar sholat antum lebih semangat lagi, jadi biar saja nasyid ini berkumandang keras” ucap Yanto yang tetap mengangkat tangan sambil mengepalkannya.
“Akh, ternyata antum perlu diruqyah kalau gitu! Jangan-jangan ada jin bersamayam
ditubuh antum” gumamku kesal “Hehe… afwan akh, tadi kan cuman bercanda!” jawab Yanto dengan mengecilkan suara tape.
Aku menggelar sajadah, bersiap untuk menghadap sang khalik. Menghadap sang maha pemaaf. Menghadap sang Maha dari segalah maha yang ada di alam semesta ini.
Cuaca diluar sangat cerah, terasa mentari tersenyum dengan sinarnya. Panasnya tidak terik, tetapi tidak pula mendung. Udara tidak panas, dan pula tidak dingin. Cuaca benar-benar sangat bersahabat. Terbukti, banyak sekali hilir mudik orang-orang yang lewat kontrakanku, terlihat wajah-wajah yang segar. Wajah-wajah yang siap menghadapi hari yang lebih baik. Insya Allah.
“Akh, antum kok nggak siap-siap? Apa nggak ada kuliah!” tanya Heri
“Ana ada bimbingan jam sembilan! Jadi sekarang bisa nyantai-nyantai dulu” ucapku “Wah yang lagi mau kelar kuliahnya, udah bersiap-siap nggak akh?” tanya Heri, sambil menyeruput teh hangatku.
“Emang, maksud antum apa akh? Bersiap-siap untuk apa?” jawabku
“Iya, berusaha bersiap-siap untuk melanjutkan sunnah Rasulullah! Menyempurnakan agama kita”
“Sunnah Rasulullah! Yang mana?” tanyaku heran
“Akh, antum kayak nggak tahu aja! Itu loh akh, sekretaris antum dulu, perlu diselamatkan!” ucap Heri serius
“Ha..? maksud antum apa sich, akh?” tanyaku penasaran
“Antum, harus menyelamatkan ukhti Farah dari fitnah dunia. Juga dari orang-orang jahil yang ingin menjahilinya! Jadi antum harus cepat menyelamatkan ukthi Farah! Nikahi ukhti Farah” jawab Heri sambil tertawa.
Dengan tersenyum aku menjawab “Antum itu ada-ada aja! Kenapa bukan antum saja yang menyelamatkannya!”
Heri tertawa sambil mengatakan “Akh, kalau ana sich gampang! Tapi ana mempersilahkan senior dulu. Dan lagi, Ukhti Farah kan termasuk jajaran-jajaran bidadari Allah yang bisa dibilang sempurna! Apa antum nggak tertarik dengan Ukhti Farah?”
“Akh, udah nggak usah seperti itu! Ukhti Farah itu wanita yang paling sempurna. Makanya ana takut mendekati wanita-wanita sempurna, seperti akhwat yang satu itu” jawabku sekenanya
“Antum, takut apa minder! Udah, ana berangkat dulu. Ana takut terlambat.
Assalamu’alaikum” jawab Heri sambil tertawa, sambil ngeloyor pergi
“Walaikumsalam” jawabku sambil tersenyum Ukhti Farah, akhwat yang bisa dibilang sempurna. Semua terdapat pada keagungan wanita, berada padanya. Aku tidak melihat kecantikan wajahnya, sebelum aku melihat kelembutan hatinya. Aku memang belum pernah melihat wajah ukhti Farah, aku hanya mendengar keagungan kecantikannya dari teman-teman kuliahku. Teman-teman yang masih meninggikan kecantikan wajah, teman-teman yang masih belum tertarbiyah. Tetapi saat dia menjadi sekretarisku pun, aku masih belum tahu kecantikan wajahnya.
Yang aku tahu, sungguh benar-benar kecantikan yang sempurna saat aku mengetahui sikap dia. Dan mulai dari situlah aku benar-benar tidak membutuhkan lagi kecantikan wajahnya, aku tidak butuh lagi mengetahui wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi kecantikan pada jasadnya. Yang aku butuhkan, adalah kecantikan seorang wanita pada dalam dirinya, pada tanggung jawabnya sebagai wanita. Yaitu wanita yang mempelihara
aurat-auratnya atas fitnah dunia.
Banyak akhwat yang aku kenal, tetapi memang tidak sesempurna ukhti Farah. Dulu saat aku masih senang dengan cara jahilia, yaitu mengetest akhwat. Banyak akhwat yang sering aku telphone. Dan banyak juga, akhwat yang dengan nada santai tetapi benar-benar menghanyutkan. Bicaranya santun, tetapi topik pembicaraannya tidak pantas untuk dibicarakan oleh seorang akhwat apalagi kader dakwah. Ada lagi seorang akhwat yang tergesa-gesa menjelaskan sesuatu masalah, lebih-lebih lagi si akhwat memposisikan dirinya sebagai orang yang paling tahu dan paling beriman. Ada juga akhwat yang menjelaskan agama Islam, tetapi si akhwat menjelaskannya layaknya seorang marketing.
Sungguh memang benar-benar lucu. Dan kadang pula menjengkelkan dengan para akhwat yang sok suci dan sok yang paling tahu itu. Tetapi itu dulu. Saat terakhir aku menelephone ukhti Farah. Selesailah sudah perjalanan mengetest kemampuan para akhwat. Dengan nada bicara yang santun, topik yang bagus dan bisa memposisikan dirinya sebagai seorang yang sama dengan lawan bicaranya. Setelah itu, sebuah nasehat yang bagus dari ukhti Farah “Afwan, akh! Ana merasa, antum bukanlah ikhwan yang belum tertarbiyah. Ana takut
antum adalah ikhwan yang senangnya mengetest akhwat. Ana cuma mau berpesan kepada antum, sebaik-baik muslim itu adalah seorang yang bisa menghormati muslim satu dengan muslim yang lainnya. Dan bukan saling mengetest kemampuan kepintarannya!”
Saat itulah, akhirnya aku benar-benar paham. Bahwa sesungguhnya, sakitlah hati seseorang manakala seseorang itu merasa dikerjain oleh saudaranya sendiri. Akhirnya, aku tidak pernah lagi mempunyai keinginan untuk mengetahui tingkat kemampuan saudaraku sendiri. Biarlah tingkat kemampuan dalam kepintarannya yang akan membimbing dia menjadi seorang muslim yang sejati. Seorang muslim sejati tidak akan memposisikan dia sebagai orang yang paling pintar dan beriman, seorang muslim sejati tidak akan tergesa-gesa dalam menjelaskan sesuatu hal, seorang muslim sejati tidak akan memberi sebuah penjelasan layaknya seorang marketing produk. Karena Islam adalah agama perbuatan, maka perbuatanlah yang akan mencontohkan muslim yang baik atau muslim yang buruk.
Sejak saat itu aku memang benar-benar tertarik dengan ukhti Farah, bukan tertarik karena wajahrnya. Tapi aku tertarik dengan keteduhan bahasa bicaranya, keteduhan yang mungkin membuat manusia benar-benar ingat akan adanya siksa neraka. Sungguh benarbenar wanita yang sempurna. Tapi aku sadar bahwa aku bukanlah ikhwan yang pantas untuk dia. Untuk wanita sesempurna ukhti Farah.
“Gimana Lid, dosen pembimbing kamu! Enak nggak?” sapa Hendra, teman kuliahku dari belakang sambil menepuk pundakku. Saat sedang berjalan menuju fakultasku.
“Eh, kamu Hen! Tak kira siapa” jawabku sambil tersenyum
Dia tersenyum lalu berkata “Hem, dosen pembimbingku, nggak enak Lid! Masa aku kalau mau ketemu harus janjian dulu. Dan nggak pernah ada di ruang dosen”
“Hem emang siapa, dosen pembimbing kamu Hen?” tanyaku sambil berjalan.
“Itu, Pak Hartono!” jawab Hendra
“Hem, pantes Hen! Pak Hartono kan super sibuk. Tapi enak loh Hen, Pak Hartono kan orangnya sabar banget!” terangku
“Iya sich, tapi kalau gini terus aku nggak akan tepat waktu mengerjakan skripsiku” keluh Hendra dengan wajah terlihat pasrah.
“Ya, nggak gitu Hen. Kalau kamu janji dulu sama beliau, kan beliau nanti bisa menyesuaikan jadwalnya” sergahku sambil tersenyum
“Hem,” Hendra manggut-manggut. “oh yach, dosen pembimbingmu siapa Lid?”
“Dosen pembimbingku, Pak Susilo!” jawabku sambil tersenyum
“Ha.. Pak Susilo! Yang bener kamu Lid?” Hendra memandangku tak percaya
“Iya. Pak Susilo! Kenapa?”
“Jadi kamu, satu-satunya mahasiswa yang dosen pembimbingnya Pak Susilo!” Hendra masih terlihat tidak percaya.
Aku tersenyum sambil menjawab “iya..!”
“Ha…! Kamu mau dibimbing si Prof killer itu? Apa kamu dulu nggak milih pembimbing?”
“Aku memang milih Prof. Susilo Nugroho! Kasihan beliau nggak ada yang milih” gumamku sambil tersenyum.
“Kamu gila, atau gimana sich Lid? Milih kok yang killer kaya dia” ucap Hendra sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Sebenarnya sich, aku milih Pak Susilo karena dia kan guru besar di fakultas kita! Apalagi dia kan juga guru besar di Universitas ini. Jadi aku beruntung Pak Susilo mau menjadi pembimbingku” kilahku sembari tersenyum banggga.
“Sekarang kamu ada keperluan apa kekampus? Apa ikut SP (Semester Pendek)?” tanya Hendra
“Hem sorry kalau Khalid ikut SP! Aku kan mau ketemu sama dosen pembimbing yang baik hati” jawabku sambil tersenyum.
“Ok deh, met ketemu sama Prof killer itu! Lid aku mau ke kantin dulu yach.” Ucap Hendra sambil menepuk pundakku.
“Ok.”
Kantor dosen sudah terlihat didepan mata, tinggal beberapa langkah aku sudah masuk dikantor yang dipenuhi pembimbing-pembimbing intelektual.
“Permisi, mbak! Pak Susilo sudah datang belum?” sapaku pada mbak Dina, pengurus sekretariat.
“Ada, Lid. Masuk aja! Pak Susilo di mejanya” jawab mbak Dina.
“Terima kasih, mbak!”
Aku langsung menuju mejanya Pak Susilo. Benar Pak Susilo sudah berada di mejanya, sedang mengerjakan sesuatu. Hatiku berdegup tak beraturan. Ini pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan Pak Susilo.
“Selamat siang, Pak!” sapaku
Dia menatap dingin padaku sembari menjawab sapaanku “Siang!” selanjutnya bertanya dengan tatapan yang dingin “Ada perlu apa?”
Jantungku saat itu benar-benar berdegup kencang, layaknya seorang ikhwan yang sedang ditawari Murrabi untuk menikah. Bertemu dengan pakar hukum yang satu ini, membuatku merasa sangat canggung. Bagaimana tidak canggung, Pak Susilo merupakan tetua dari para dosen hukum difakultasku. Dan beliau merupakan dosen yang tidak diragukan kemampuannya. Selain kemampuannya, yang membuat dia benar-benar disegani oleh semua mahasiswa dan dosen difakultasku, adalah ketegesannya dalam hal apapun. Termasuk masalah nilai. Pak Susilo tidak dapat diganggu gugat masalah nilai. Di fakultasku banyak sekali dosen yang mudah merubah nilai, entah karena apa mereka dapat merubah nilai. Tapi untuk Pak Susilo, sebuah nilai ujian tidak dapat diganggu gugat, dan tidak dapat dirubah. Aku benar-benar senang dengan prinsip dosen yang satu ini. Karena, meskipun aku jarang sekali mengikuti perkuliahan beliau. Tetapi aku tetap bisa mengerjakan ujian-ujian yang diberikan oleh beliau. Dan nilaiku bisa dikatakan sangat memuaskan. Karena saat itu memang aku sangat sibuk dalam organisasi, sehingga jarang sekali aku masuk kuliah. Tetapi aku tetap mempelajari semua mata kuliah.
Sehingga aku tidak ketinggalan dengan mahasiswa yang lainnya.
“Saya Khalid, Pak! ” jawabku tenang
“Hem jadi kamu, mahasiswa yang sok pintar itu yach!” ucap pak Susilo sinis.
Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecut. Jantung ini semakin berdegup kencang. Apalagi kata-kata Professor killer ini benar-benar menyakitkan.
“Khalid, mahasiswa yang sukanya menuntut. Mahasiswa yang sukanya demonstrasi.
Mahasiswa yang sukanya manantang para dosen. Apalagi sok idealis!” pak Susilo berkata tanpa melihatku, sambil merapikan beberapa berkas-berkasnya.
Darah muda mulia memuncak. Ucapan sang Professor sudah tidak dapat didiamkan. Keras sekali penghinaannya padaku. Saat aku akan mengucapkan sesuatu, pak Susilo berdiri sambil menghadapku. Dengan nada mengejek “baik, kalau kamu ingin saya menjadi dosen pembimbing kamu! Saya ingin sekarang juga, memberikan soal kuis kepada kamu. Jika seandainya jawaban kamu tujuh puluh persen banar, maka saya bersedia. Tetapi jika kurang dari itu, maka saya akan bilang ke dosen-dosen yang lain untuk tidak menerima seorang mahasiswa yang hanya suka omong besar!”
Aku benar-benar tertantang dengan ucapan pak Susilo. “baik, saya siap!” jawabku enteng.
Terlihat pak Susilo masih mamandang sinis kearahku.
Dalam hati aku berfikir, bahwa ini saatnya aku menunjukkan kemampuanku didepan dosen sacara langsung. Aku ingin membuktikan, meskipun aku jarang mengikuti kuliah, tapi aku tetap bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh para dosen.
Meskipun aku tidak pernah masuk, bukan berarti aku tidak kuliah, apalagi tidak bisa mengerjakan soal-soal kuliah. Kuliah hanya aku anggap sebagai alat mengambil ijazah saja, karena kuliah yang sebenarnya adalah mendapatkan pengetahuan dari sumber manapun. Dan inti dari kuliah adalah belajar. Jadi, bukan berarti orang yang tidak kuliah tingkat keilmuannya rendah. Apalagi menganggap bahwa orang yang tidak kuliah, tidak belajar.
Pak Susilo memberikan lembaran kertas yang berisi soal-soal kepadaku. “Ini kerjakan!
Saya kasih kamu waktu satu jam” ucap pak Susilo tegas.
Pak Susilo duduk tak jauh dari hadapanku. Dengan tenang aku mengambil kertas itu, santai aku mengerjakan soal-soal yang diberikan pak Susilo. Meskipun memang banyak soal-soal yang sulit, tetapi aku tetap yakin bahwa aku bisa mengerjakannya. Sebuah pertaruhan yang sangat berat, antara sebuah nama baik, nilai dan soal-soal ujian. Jikalau aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu, yang akan terjadi adalah sebuah petaka buruk bagiku apalagi untuk organisasi dan teman-teman yang sangat mempercayaiku.
“Baik, waktu sudah habis!” ucap pak Susilo mengagetkan aku.
Untung semua yang aku kerjakan sudah selasai, tetapi entah benar apa tidak. Aku tidak tahu, hanya Allah swt dan pak Susilo yang tahu. Kertas soal dan jawaban aku serahkan. Dengan teliti sekali pak Susilo memeriksa jawaban soal-soal kuis. Wajahnya terlihat sangat dingin, dan terkesan sangat acuh sekali. Berkali-kali terlihat pak Susilo menggeleng-gelengkan kepala, sambil terlihat kecewa. Aku hanya diam, menatap kosong kedepan. Menyesali kesombongan, kesombongan yang membuat aku jatuh pada lubang yang tak termaafkan, kesombongan yang membuat harga diriku runtuh terpinggirkan dalam jiwa yang tak tenang.
“KHALID!” ucap pak Susilo dengan mengeraskan suaranya, aku sedikit kaget waktu itu.
Setelah itu pak Susilo berkata “Hem, benar ternyata. Aku sangat meragukan kemampuan kamu. Ternyata kemampuanmu, lebih dari yang saya bayangkan!”
Aku masih diam, tidak mengerti tentang ucapan pak Susilo.
“Khalid, aku memang sudah menduga. Bahwa kamu memang mahasiswa yang brilian, saat banyak dosen-dosen yang meragukan kemampuanmu dalam menerima perkuliahan.
Saya mengetahui kamu memang mahasiswa pintar. Jadi, akhirnya saya yakin bahwa kamu benar-benar mahasiswa yang pintar” ucap pak Susilo dengan tersenyum puas.
Selanjutnya pak Susilo melanjutkan ucapannya “sekarang, kamu bisa menunjukkan judul skripsi yang akan kamu pakai”
Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar, ucapku berulang-ulang dalam hati. Sungguh tiada suatu yang lebih menggembirakan dalam hati kecuali, seorang professor yang merekomendasi ilmuku. Merekomendasi tentang apa yang aku peroleh dari belajarku.
Aku merasa benar-benar memenangkan sebuah pertarungan. Memenangkan sebuah pertarungan yang mempertaruhkan sebuah kehormatan. Memenangkan sebuah pemikiran baru, bahwa kuliah bukan berarti harus kuliah.
“Perspektif hukuman mati dalam Hukum Pidana Positif dan Hukum Islam” jawabku Sambil mengernyitkan dahinya pak Susilo berkata “Hem, kayaknya bagus. Apa kamu sudah dapat bahan-bahannya?”
“Hem, Insya Allah sudah Pak! Tinggal di ketik” ucapku mantab
“Ok, saya tunggu! Saya sudah percaya dengan kamu, dan saya tidak meragukan kemampuan kamu” ucapnya tegas.
“Baik Pak, kalau gitu saya permisi dulu!”
“Baik, saya akan tunggu hasil-hasil yang sudah kamu tulis”
Setalah berdiri, aku langsung berpamitan. Tetapi saat aku akan berpamitan. Pak Susilo, memanggilku “Khalid, saya orang Islam! Perlakukan saya seperti orang Islam”
“Oh maaf pak, Assalamualaikum” ucapku saat berpamitan
Pak Susilo tersenyum sambil menjawab “Walaikumsalam”
Tekad maju penuh kemanangan, senandung nasyid kunyanyikan dalam hati “Langkah ini langkah-langkah abadi Menapak gagah laju tanpa henti. Langkah ini langkah-langkah abadi. Menapak gagah laju tanpa henti”
Sebuah kemulian yang diberikan oleh Allah Azza wa jalla. Pada para mujahid dan mujahidah yang melaju menegakkan kebenaran menyingkirkan kebathilan. Dan Allah pasti akan menolong hambanya yang telah berjuang didalam agama-Nya.
Lanjutkan membaca Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 3