-->

Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 3

Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 3


Aku keluar dari sekretariat dosen, dengan penuh kemenangan. Kemenangan awal yang akan diikuti oleh perjuangan yang lainnya.
“Hey, Khalid! Gimana bimbingan dengan si Prof killer itu?” sapa Hendra, yang saat itu berada disampingku.
“Alhamudillah, semua beres!” ucapku penuh kemenangan
“Wah, enak ya kalau aktivis” ujar Hendra
Aku tersenyum sambil mengatakan “makanya, kenapa dulu nggak jadi aktivis!”.
Belum tahu dia tentang perjuanganku untuk mempertahankan nama baik. Dan
belum tahu dia kalau keteganganku saat menghadapi Professor Susilo Nugroho bagaikan tawaran untuk menikahi seorang akhwat, ucapku dalam hati.
“Kamu mau kemana sekarang, Lid?” tanya Hendra
“Mau, kesekretariat LDK! Kenapa? Mau ikut!” jawabku enteng
“Nggak! Sebenarnya aku ada perlu sama kamu, kalau kamu nggak repot!”
“Wah, ada perlu apa nich? Nggak kok, aku nggak repot!”
“Lid, gimana kita kalau duduk disitu!” Hendra menunjukkan tempat duduk di taman fakultas hukum. Yang saat itu beberapa tempat duduk yang masih dipenuhi mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkumpul. Entah apa yang mereka lakukan. Aku mengangguk setuju.
Setelah duduk di kursi paten beton. Hendra langsung mengatakan sesuatu yang mengganjal hatinya “Sebenarnya gini Lid!” Hendra mengatakan tentang sesuatu yang mengganjal pada hatinya. Sesuatu yang membuat dia resah. Membuat dia merasa bingung harus ditanyakan kemana sebuah persoalan yang berada pada rongga pikirannya.
“Lid, aku mendapat SMS juga mendapat berita dari temanku. Akan ada sebuah penyerangan besar yang ditujukan kepada orang-orang Kristen. Akan ada sweeping besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam kepada orang-orang Kristen. Dan setiap wanita Kristen akan diperkosa, laki-lakinya akan dibunuh!” ucap Hendra serius.
Hendra adalah seorang penganut Kristen yang sangat dekat danganku. Seorang Kristen yang sangat mendukung tentang Hak Asasi dalam beragama. Seorang yang tidak suka menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuannya. Seorang yang toleran dalam beragama.
“Boleh aku lihat SMSnya?” pintaku
Hendra langsung mengambil HPnya. Dan langsung memperlihatkan SMS gelap itu kepadaku. “Assalamualaikum, untuk orang Islam semua. Seruan untuk men-sweeping umat Kristen. Kita habisi mereka. Kita perkosa wanita-wanitanya, kita bunuh laki-lakinya.
Jangan ada ampun kepada umat Kristen yang kita temui. BUNUH mereka. Allahu Akbar 5x”
Setelah membaca SMS itu, aku tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum, Lid? Apa ada yang lucu?” terlihat Hendra merasa tersinggung dengan senyumanku.
“Kawan, saat kamu memperlihatkan SMS itu dan aku tersenyum, bukan aku bermaksud menyinggungmu. Tapi senyumanku tertuju pada si pengirim SMS itu. Karena sesungguhnya perkataannya bukan seperti orang Islam yang beriman. Dalam Islam tidak pernah dihalalkannya untuk membunuh siapapun bahkan umat agama lain. Selama tidak ada suatu alasan yang syar’i, atau sebuah hukuman. Maka tidak diperbolehkan orang Islam membunuh. Juga, bermaksiat dalam Islam sangat berdosa besar. Apalagi memperkosa wanita. Masya Allah. Itu sangat diharamkan pada umat Islam. Karena Allah sangat murka pada orang-orang yang bermaksiat. Sesungguhnya kawanku, umat Islam jika mengucapkan takbir, itu terbiasa dengan 3x kali. Tapi disitu janggal, dengan mengucapkan takbir 5x. Berarti, si pengirim SMS itu tidak mengetahui pasti tentang kebiasan orang-orang Islam. Bukan berarti aku mengatakan si pengirim SMS itu orang beragama lain, tetapi bisa juga orang yang mengirim SMS itu adalah orang-orang Islam tetapi yang tidak beriman. Dan apakah engkau tahu? Bahwa aku tidak pernah dikirim SMS yang berbunyi seperti itu. Padahal aku adalah termasuk orang-orang yang memperjuangkan agamaku!” jelasku panjang lebar. “Tapi umat Kristen diisukan, bahwa mereka telah memurtadkan orang Islam. Apakah isu itu tidak membuat orang-orang Islam sangat membenci umat Kristen?”
“Kawanku, apakah engkau menyangkal bahwa umat Kristen tidak memurtadkan umat Islam?” tanyaku balik kepada Hendra
Hendra menunduk lesu, setelah itu menghembuskan nafas panjang “Iya, aku akui. Bahwa memang ada sebagian besar orang-orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk memurtadkan orang Islam. Mereka berfikir bahwa umat selain Kristen, adalah domba-domba yang tersesat. Aku sudah berungkali menolak dogma itu, kepada kalanganku. Tapi apalah dayaku,” Hendra menghela nafas panjangnya, setelah itu dia melanjutkan perkatannnya “Aku hanya seorang anak pendeta yang telah terasing dari agamaku sendiri. Tetapi aku masih yakin bahwa dogma itu harus dirubah. Semua umat beragama adalah orang-orang yang ber Tuhan. Dan semua orang beragama adalah orang-orang yang baik.”

“Kawan, bukan berarti jika umat Kristen memurtadkan umat Islam. Dan umat Islam membenci umat Kristen semua! Sesungguhnya yang kita benci bukan umat Kristen semuanya, tetapi kelakuan yang telah dilakukan oleh segelintir umat Kristen yang menghalalkan segala cara untuk menempuh tunjuannya. Kawan, kita memang diperbolehkan untuk bersyiar, kita memang diperbolehkan untuk berdakwah. Tetapi tujuan kita adalah memberikan sebuah pengetahuan yang benar, tentang arti sebuah kebanaran itu sendiri. Kita boleh memberikan sebuah bantuan kepada orang lain. Tetapi kawan, kita harus ingat tentang keikhlasan. Keikhlasan adalah sebuah maksud tanpa ada tujuan tertentu selain tujuan untuk diridho’I oleh Tuhan kita. Bukanlah itu sebuah keIkhlasan, manakala kita membantu seseorang dengan tujuan untuk menarik mereka menuruti apa yang kita inginkan. Ada sebuah hal yang menarik dari sebuah kisah dua sahabat Rasulullah Muhammad Saw. Dia adalah Abu Bakar dan Bilal. Abu Bakar adalah orang yang membeli seorang budak muslim yang saat itu teraniaya dengan harga yang sangat mahal, dia adalah Bilal. Sungguh saat itu Bilal sudah dizalami oleh orang-orang Quraisy. Dengan serta merta Abu Bakar membeli Bilal dengan harga yang sangat mahal dari budak yang lainnya. Setelah itu Abu Bakar membebaskan Bilal dari perbudakan.
Pada suatu masa, yang pada saat itu Abu Bakar meminta dengan sangat kepada Bilal untuk menuruti perintahnya. Dengan sangat rendah hati, Bilal mengucapkan “sesungguhnya wahai sahabat Rasulullah, apa yang engkau inginkan dari pembebasanku. Apakah engkau ingin aku menuruti perintahmu? Atau kah engkau membebaskan aku dengan keIkhlasanmu kepada Allah. Jika engkau memerdekakanku agar aku menjadi milikmu, maka lakukan apa yang engkau inginkan. Jika engkau memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku.” Saat itulah Abu Bakar dengan rendah hati pula mengatakan “Aku membebaskanmu karena Allah, Wahai Bilal!” sungguh ini adalah sebuah kalimat keikhlasan yang sangat dalam. Tiada dari sebuah maksud keikhlasan melainkan hanya kepada Allah lah saja. Jadi sebenarnya, bahwa umat muslim boleh memberikan bantuan kepada umat Kristen. Tetapi umat Islam diharamkan memaksa umat Kristen untuk mengikuti keinginan dari umat Islam. Dan seharusnya pun, begitu pula sebaliknya.”
Jawabku panjang lebar.
“Tetapi Khalid, apakah engkau menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat Islam terhadap umat Kristen?” tanya Hendra ragu
“Kawanku, sesungguhnya Islam itu adalah agama damai! Dan sesungguhnya umat Islam itu, umat yang damai. Tetapi jika umat Islam dizalimi. Tidak ada kata lain selain Jihad.
Aku menjamin bahwa tidak akan ada pensweepingan umat Islam terhadap umat Kristen. Selama umat Kristen tidak melakukan sebuah kecurangan. Dan tidak akan ada pembunuhan dan perkosaan terhadap umat Kristen, meskipun jika memang dilakukan pensweepingan terhadap umat Kristen yang curang. Karena Islam mengharamkan cara yang bathil. Insya Allah, Kawan.” Jawabku mantap “Lid, terima kasih atas jawab-jawabmu! Sebenarnya aku sangat khawatir sekali. Aku khawatir terjadi permusuhan antar agama. Aku tidak menginginkan adanya sebuah pertikaian antar agama. Yang aku inginkan adalah, kita merdeka dalam memeluk setiap agama kita. Tidak ada saling memaksakan kehendak dalam beragama. Dengan berpedoman bahwa semua orang beragama punya hak yang sama dalam menjalankan agamanya.” Ucap Hendra
Aku tersenyum, sambil mengatakan “Hen! dalam Al Qu’ran, surat Al-Kafirun “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” jadi dalam Islam sudah diatur tata cara kehidupan beragama. Selama kita saling menghormati dan saling memberikan toleransi. Maka tidak akan ada permusuhan bahkan pertikaian antar agama.”
“Benar, apa yang kamu katakana Khalid! Seharusnya seperti itulah orang-orang yang beragama. Mereka mengurusi agama mereka masing-masing. Dan apabila saling memberikan bantuan. Seharusnya bantuan itu diberikan dengan keikhlasan. Tanpa ada maksud yang lainnya selain untuk mendapatkan pahala dari Tuhan.” ucap Hendra.
Aku mengangguk setuju.
“Lid, atas nama agamaku. Aku meminta maaf atas perilaku segelintir orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk memuaskan kehendak mereka sendiri”
“Iya, Hen! Sama, aku juga meminta maaf mungkin beberapa dari umat Islam yang begitu agresif dalam mempertahankan agama Islam. Membuat kamu merasa tidak tenang. Tetapi sebenarnya apa yang dilakukan oleh umat Islam, hanya untuk mempertahankan saja bukan menyerang. Dan SMS yang kamu terima itu bukan SMS dari umat Islam. Karena Umat Islam tidak akan melakukan tindakan sehina itu.” Ucapku Aku jadi teringat pertemuan awalku dengan Hendra. Saat itu Hendra sangat tersinggung, saat aku katakan bahwa umat Islam diharamkan untuk mengucapkan selamat kepada agama lain. Termasuk selamat Natal. Hendra saat itu mengatakan “kalau begitu Islam tidak memberikan sebuah toleransi beragama”. Sungguh inilah yang selalu diucapkan oleh kalangan orang yang tidak mengerti Islam. Mereka merasa bahwa ucapan selamat merupakan sebuah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan.
Mereka merasa ucapan adalah sekedar penyejuk hati. Atau sebatas kata-kata yang menyenangkan orang lain. Padahal, dalam Islam. Ucapan itu merupakan sebuah doa. Jadi umat Islam seharusnya sangat berhati-hati dalam berucap. Apalagi mengucapkan selamat kepada agama lain. Dengan santai aku menjelaskan. Bahwa sesungguhnya saat umat Islam mengatakan selamat kepada agama lain. Maka sesungguhnya umat Islam mendukung adanya agama tersebut. Padahal dalam ajaran Islam tidak ada sebuah agama yang benar kecuali agama Islam. Jadi sebuah ucapan selamat berarti membenarkan sebuah agama selain Islam. Dan itu sangat tidak diperkanankan. Dan ucapan selamat sudah merupakan sebuah akhidah bagi umat Islam. Jadi jika dalam akhidah sudah tidak diperbolehkan. Maka kita tidak boleh melakukannya. Seperti halnya umat Kristen yang disuruh umat Islam untuk sholat Jum’at. Secara otomatis umat Kristen tidak akan diperbolehkan. Karena itu adalah aturan umat Kristen. Begitu pula sebaliknya jika umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan selamat Natal. Maka seharusnya umat Kristen mengetahui bahwa itu adalah bagian dari ajaran umat Islam. Dan seharusnya umat Kristen lebih toleran kepada umat Islam, dengan tidak mengharapkan ucapan selamat yang diucapkan oleh umat Islam.
Dengan begitu seharusnya umat Kristen jika mengaku toleran kepada agama lain. Maka selayaknya mereka tidak memancing-mancing mengucapkan selamat kepada umat Islam saat hari-hari besar agama Islam. Agar tidak menimbulkan rasa dengki yang timbul oleh umat Kristen dikarenakan umat Islam tidak mengucapkan selamat kepada umat Kristen. Karena kita harus ingat, bahwa toleransi beragama itu adalah hal-hal yang bersifat umum atau muamalah. Bukan toleransi yang bersifat abstrak yang menyangkut akhidah.
Hendra akhirnya mengerti tentang arti toleransi itu sendiri. Bahkan Hendra berkali-kali mengucapkan, toleransi umat Islam lebih besar ketimbang toleransi agamanya sendiri. Sudah lima tahun aku bersahabat dengan Hendra. Sehingga aku tahu sifat seorang sahabatku itu. Meskipun kami berlainan keyakinan. Tapi kami mampu memberikan sebuah aktulisasi tentang toleran itu sendiri. “Bukanlah itu sebuah toleransi beragama, jika toleransi itu menginjak-ngijak keyakinan agama lain dan memaksa menuruti kehendak dari apa yang kita yakini” itulah perkataan Hendra pada saat itu..
Tak lama setelah perbincangan kami. Pandanganku menangkap seorang wanita. Wanita yang menggelisahkan hatiku. Wanita yang pernah aku lihat berjalan dihadapanku. Aku benar-benar terpana melihat wanita itu. Benar-benar cantik. Sungguh benar-benar cantik. Aku tak menyangka semua ilmuku sirna. Sirna dengan memandang wanita cantik didepan mata ini.
“Lid, Khalid. kamu melamun! Ada apa?” tanya Hendra dengan memegang bahuku.
“Astagfirllah” ucapku lirih. Disertai ucapan “Subhanallah. Ya Allah sungguh kebesaranmu menciptakan wanita secantik dia” ucapku dalam hati.
Hendra membalikkan badannya kebelakang. Yang pada saat itu duduknya masih berhadapan padaku. Serta merta Hendra tersenyum. Lalu berucap “Lid, itu Nova.
Temanku di UK3 (Unit Kerohanian Kristen Katolik)”
“Oh.” Aku hanya mengangguk pelan saat itu Tak lama Nova mendatangi kami berdua. Wanita yang aku kagumi kecantikannya mendatangiku. Sungguh aku tidak percaya, dia sekarang berada dihadapanku. Tepat didepanku.
“Hendra, kamu dicari Wiwid tuh!” ucapnya kepada Hendra.
“Oh, dimana dia sekarang?” Tanya Hendra
“Dikantin Fakultas Ekonomi!” ucapnya lirih.

“Oh ya, kenalin nich! Temanku” sambil menunjukku
Tak lama dia tersenyum. “Subhanallah, senyumnya cantik sekali” ucapku dalam hati.
Aku membalas senyumannya.
“Nova, Maria Nova lengkapnya!” ucapnya sambil menyodorkan tangannya kepadaku untuk berjabat tangan.
Tangannya putih sekali. Seputih iklan produk pemutih. Jiwa ini berontak menerima atau menolak uluran tangannya. Perjuangan akhidah dan nafsu tumpang tindih.
Sungguh, benar-benar inilah yang disebut ujian. Ujian untuk menaikkan tingkat keimanan. Mungkin karena hal inilah, akhirnya tercipta Liberalisasi Islam. Karena nggak kuat untuk menyentuh tangan yang putih bersih dan sangat halus.
“Khalid, Khalid Hendriansyah lengkapnya” balasku dengan merapatkan kedua telapak tanganku kearah dada.
Dengan serta merta Nova menarik tangannya kembali, serta merapatkan kedua telapak tangannya kearah dadanya. Dia terlihat mengerti apa yang aku maksud.
“Nova ini ketua UK3 loh, Lid!” ucap Hendra dengan nada suara yang bermaksud tertentu. Entah apa maksudnya, mungkin dia memperingatkanku untuk berhati-hati dengannya.
Nova saat itu hanya tersenyum simpul.
“Khalid, aku tahu kamu! Kamu adalah aktivis LDK kan?” ucap Nova Aku tersenyum lalu berkata “iya, kok kamu tahu? Apakah kita pernah ketemu?”
“Iya, kita pernah bertemu! Disuatu tempat, ingat-ingatlah kembali!” jawabnya penuh maksud yang tersembunyi
“Hem, dimana yach?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Ada deh! Pikir dulu aja. Oh ya udah dulu yach, aku masih ada keperluan lagi. Aku tadi hanya menyampaikan pesannya Wiwid aja kok!” ucap Nova
Saat Nova akan meninggalkan aku dan Hendra. Tatapan matanya terlihat sendu mengharapkan sesuatu kepadaku. Entah apa itu. Aku tak tahu, karena aku langsung menundukkan pandanganku. “iya, hati-hati yach! Kalau ketemu Wiwid bilang, bentar lagi aku kesana. Aku masih ada urusan sama Khalid” ucap Hendra.

Dewi Aphrodite telah meninggalkanku. Tetapi kecantikannya masih terbayang dalam rongga pikirku.
“Khalid,” panggil Hendra
“Iya apa Hend!” ucapku
“Cantik, yach?” ucap Hendra
“Siapa?” ucapku berlagak tidak tahu. Meskipun aku tahu yang dimaksud adalah Nova.
“Ah, kamu. Sok! Nova maksudku” ucap Hendra mempertegas Aku tersenyum, “iya, cantik! Kenapa?” tanyaku balik
“Lid, aku kasihan kepada Nova!”
“Kasihan kenapa?”
“Nova, adalah anak dari Pendeta Joseph”
“Hem! Lalu kenapa?” tanyaku penasaran
“Aku kenal Nova sejak kecil, Lid! Dan rumah Nova berada di sebelah rumahku. Pendeta Joseph adalah teman Papaku, Lid. Pendeta Joseph sering memukul Nova, jika Nova tidak mau mengikuti perintah dari Pendeta Joseph. Kamu tahu nggak Lid. Pernah suatu kali Nova akan dinikahkan sama seorang pengusaha tua kaya yang beragama Islam. Dengan janji bahwa jika nanti Nova dinikahi, maka Pengusaha itu akan ikut beragama Kristen.
Kamu tahu kan, Lid! Kecantikan Nova memang begitu merona!” ujar Hendra
“Lalu, gimana. Nova jadi nikah dengan pengusah itu?” tanyaku
“Nggak jadi, Lid!”
“Loh, kenapa?”
“Iya, saat itu Nova menolak keras. karena menolak Nova telah dipukul habis-habisan oleh Pendeta Joseph. Dan keluarganya mengucilkan dia. Nova pernah disekap dalam kamarnya. Karena kamar Nova berhadapan dengan kamar adikku yang perempuan.
Sehingga aku bisa melihat kondisi Nova pada saat itu. Benar-benar kasihan dia,. Pakaiannya lusuh, dan dia tidak diberikan makanan apapun. Tapi aku dan adikku sering melemparkan roti kering dan air kemasan kearah kamarnya. Aku akhirnya mempunyai inisiatif untuk menyelidiki pengusaha tua tadi. Setelah aku dan teman-teman selidiki. Ternyata pengusaha tadi mempunyai seorang istri. Setelah kami selidiki, akhirnya kami
tahu kalau sebenarnya kekayaan dari pengusaha itu adalah kekayaan isterinya. Dan saat itu pun kami memberitahukan kelakuan pengusaha tua itu. Pengusaha tua itu mengurungkan niatnya untuk memperisteri Nova.” Cerita Hendra dengan serius.
“Hem..!” aku cuma manggut-manggut
“Dan akhirnya, Nova bisa sedikit bernafas lega. Tetapi kayaknya akan ada rencana lain yang akan dilakukan oleh pendeta Yoseph. Entah itu rencana apa? Aku tak tahu!” ucap Hendra bingung.
“Hem…! Ya.. sudahlah kita cuma bisa berdoa saja, semoga rencana itu bukan rencana
yang buruk.” Ucapku.
“Sebenarnya, aku juga mau cerita sesuatu kepadamu Lid!”
“Apa, Hend? Masalah tadi? Atau masalah Nova lagi!”
“Ini bukan masalahku yang tadi Lid! Tetapi ini masih ada hubungannya dengan Nova!”
“Apa itu Hen?” tanyaku
“Gini Lid, di UK3 sedang merencanakan program Baksos (Bakti Sosial) ke desa-desa kumuh. Aku nggak suka dengan program mereka Lid!”
“Loh, kan bagus Hen!” selaku
“Bagus sih bagus. Tapi ada yang janggal dari Baksos itu! Kenapa yang melakukan Baksos adalah orang-orangnya pendeta Yoseph. Yang aku sesalkan Baksos itu atas nama dan dana dari kampus. Nah ini kan nggak etis. Seharusnya kalau itu Baksosnya UK3, ya seharusnya kan mahasiswa-mahasiswi anggota UK3. Bukannya anak buah pendeta Yoseph. Nah ini yang janggal. Lid. Dan ini sudah dilaksanakan oleh mereka.” Tutur Hendra serius.
“Oh, jadi seperti itu yach!” ucapku sejenak. Aku jadi teringat cerita bang Jamal dan bang Dadang kembali. Didesa binaanku juga sedang didatangi orang-orang yang aneh. Aneh dengan cara pengajaran dan ajarannya. Kalaulah mereka beragama Islam, ajaran mereka memang mengajarkan Islam. Tetapi paham dari ajaran mereka sangat bertentangan dengan Islam. Bahkan bisa dikatakan menghina Islam. Aku benar-benar ragu dengan apa yang diajarkan oleh orang-orang asing itu. Apakah memang mereka benar-benar mengerti tentang Islam. Ataukah mereka ingin merusak agama Islam. Aku jadi teringat gadis yang berjilbab itu. Aku jadi teringat wajahnya, wajahnya seperti tak asing lagi bagiku. Dia seperti?. Oh iya benar. Dia seperti Nova. Benar-benar wajahnya seperti wajah Maria Nova. Apakah benar dia Maria Nova?. Benar tak salah lagi bagiku. Baik nanti aku akan minta tolong Deni, si pakar computer itu! Untuk mencocokkan wajah gadis berjilbab itu dengan Nova gumamku dalam hati.
“Khalid, kamu melamun lagi! Ada apa Lid?”
“Oh, nggak Hen! Aku cuma lagi mengingat-ingat aja kok!” jelasku
“Apa yang sedang kamu ingat-ingat, Lid?”
Aku hanya tersenyum sambil mengatakan “Ada deh!”
Seketika itu, aku jadi teringat hari ini aku ada kajian. “Hen, sorry! Aku ada perlu sekarang. Aku ada janji dengan Ustadku. Besok kita lanjutkan lagi ngobrol kita” ucapku terburu-buru
Hendri tersenyum sambil mengatakan “Ok, Lid! Ya, besok kita lanjutkan.”
Sebelum berangkat ke rumah Ustad Fadlan, aku harus mengambil beberapa buku catatan dikontrakanku.

Perjalanan menuju rumah ustad Fadlan memang agak jauh. Sekitar 4 kilometer dari tempat kontrakanku. Karena aku nggak punya kendaraan, jadi aku harus berjalan kaki menuju rumah ustad Fadlan. Meskipun capek, tapi aku yakin bahwa ada perhitungan tersendiri dari Allah swt, untukku. Tapi sebenarnya, untuk berjalan 4 kilometer masih belum ada apa-apanya dibanding dengan rumahku yang ada didesa. Saat aku kecil. Aku dan teman-temanku bahkan sering melihat pasar reboan di alun-alun kota, yang berjarak 10 kilometer dari desaku. Jadi perjalananku kerumah ustad Fadlan masih aku anggap belum ada apa-apanya. Pernah suatu kali ustad Fadlan menawari aku sepeda mininya untuk aku bawa. Mungkin sebelum aku diberitahu oleh teman-temanku tentang kehidupan keluarga ustad Fadlan. Pasti aku akan menerimanya. Tetapi sejak aku diberitahu dan melihat sendiri kehidupan keluarga ustad Fadlan. Aku jadi semakin bertambah keimananku.
Sebelum mempunyai rumah yang layak dihuni. Ustad Fadlan adalah seorang penjual buku-buku Islami. Dan istrinya, Ustadzah Heni. Adalah seorang guru madrasah. Mereka berdua sangat tawadhu’ dalam menjalani kehidupan. Hingga bahkan sampai saat ini. Saat mereka berdua sudah mempunyai tempat tinggal yang layak huni, juga beberapa kekayaan yang diamanahkan kepada beliau berdua. Mereka tetap tawadhu’ dalam kehidupan. Beliau terlihat tidak pernah lalai dalam mengelola kekayaan hartanya. Bahkan sepeda mini yang akan diberikan kepadaku adalah sepeda yang setiap harinya dipakai oleh Ustadzah Heni untuk mengajar di madrasah. Aku benar-benar tidak tega jika harus menerima pemberian ustad Fadlan. Biarlah kakiku berjalan saat ini, tapi aku akan berlarian disurga nanti. Berlarian dengan menggunakan kendaraan yang ada disurga nanti. Semoga, saja. Siang ini matahari begitu terik. Deru laju motor dan mobil lalu-lalang disampingku. Debu-debu berhamburan, menerpaku. Membuat langkah kakiku terasa berat, tetapi aku yakin bahwa ini tidak seberat saat sahabat-sahabat Rasulullah diuji oleh Allah dengan siksaan kaum Quraisy. Seberat seorang yang menginginkan kesyahidan.

Apalagi tidak seberat batu panas yang ditindihkan kaum Quraisy ditubuh Bilal. Subhanallah. Langkah kakiku terus melaju menuju deru ilmu yang menunggu. Melaju pada setiap langkah yang berpahala. Tetap dengan terik yang menyengat kulit. Saat kaki melangkah, saat tubuh lelah dan saat-saat mentari bersinar terik. Mata
ini memandang pada tubuh kecil. Tubuh hitam legam dengan pakaian yang dekil. Berusaha untuk meraih harapan dengan berjalan meminta-minta pada setiap mobil dan motor yang berhenti. Tidak biasanya. Yang aku tahu, diperempatan itu tidak pernah ada seorang anak kecil yang berada disitu. Tubuh kecil itu sesekali mengusap ingus yang mengalir pelan dihidungnya. Tak jarang seseorang yang melewatinya, memberikan belas kasihan kepada dia. Tapi banyak juga yang tidak berempati kepadanya. Seiring dengan langkah kakiku, anak itu masih tetap dalam naungan sang surya. Sebenarnya aku ingin mendekatinya, bertanya asal-usulnya dan sekedar untuk memberitahukan bahwa ada yang perduli dengannya. Tetapi saat itu aku urungkan. Karena aku mempunyai janji pada diri sendiri, janji untuk memperoleh ilmu lebih dalam lagi. Dan janji pada ustad Fadlan untuk selalu hadir dimajelisnya, majelis ilmu para pencari kebenaran. Aku putuskan, untuk menghampiri anak surya itu setelah pulang dari Liqo’ nanti. Rumah ustad Fadlan sudah tak jauh lagi, tinggal beberap blok saja aku sudah sampai pada rumah ilmu itu. Rumah yang dihiasi oleh keindahan ajaran Islam didalamnya. Rumah yang terbina dan sakinah pada para penghuninya. Sungguh benar-benar rumah idaman.