-->

Novel bidadari Untuk Ikhwan Jilid 13 sampai selesai



Novel bidadari Untuk Ikhwan Jilid JILID 13

 

“Assalamualaikum…” Yanto dan Heri mengucap salam hampir bersamaan.
“Walaikumsalam…” jawabku. Sambil membereskan barang-barang yang akan aku bawa kerumah baruku.
“Wah, mau pindahan ya Akh?” tanya Yanto. Heran.
“Nggak cuma mau melakukan kegiatan observasi aja kok! Paling ya sebulan.” Jawabku.
Aku nggak boong kok, aku kan bener-bener mau observasi istriku.” Gumamku dalam hati. “Apa yang antum bawa itu Akh?” lanjutku.
“Hem, afwan ya Akh! Entah ini berita buruk apa baik buat antum.” Raut muka Yanto terlihat agak sedih.
“Emang itu kertas apa, Akh!” Tanyaku penasaran.
“Ini adalah Undangan pernikahan! Undangan pernikahannya, Ukhti Farah. Antum keduluan orang Akh.” Sela Heri. Sambil tersenyum.
“Yee…” sergahku. “emang ukhti Farah nikah sama Ikhwan mana? Pasti beruntung sekali Ikhwan itu.” Tanyaku. Seperti penasaran.
“Nggak jelas, entah ukhti Farah menikah dengan Ikhwan mana. Tapi yang jelas memang sangatlah beruntung Ikhwan itu.” Ucap Yanto. Dengan senyum.
“Ana rasa memang benar kata Antum. Dan pastilah Ikhwan ini, bukan Ikhwan sebarangan. Dia pasti seorang ikhwan yang benar-benar hebat!” jawabku serius.
Alhamdulillah, semua sudah direncanakan oleh Allah. Dan juga oleh mertua dan ustadku. Sungguh, aku kini hanya seperti anak kecil. Yang serba mempunyai apa-apa. Alhamdulillah, karena teman-teman masih belum tahu. Siapa yang akan menjadi pendamping hidup ukhti Farah. Sungguh memang Ikhwan yang beruntung. Pikirku.
“Hem, ya pasti lah!” Jawab Yanto dan Heri bersamaan.
“Ok! Aku mau berangkat dulu. Kalau ada apa-apa, telphone di HPku aja yach.” Aku
beranjak sambil mengambil tasku. Tas yang terisi baju-baju dan segala keperluan sehari-hariku.
“Wah, keren nich! Antum punya HP sendiri sekarang. Nomornya berapa?” tanya Deni sambil mengambil HPnya untuk memasukkan nomor HPku.
“Antum tanya Akh. Samsul atau Akh. Deni! Mereka sudah tahu nomor ana. Ana keburu-buru
nich, Afwan. Dah dulu yach! Assalamualaikum.” Ucapku sambil melangkahkan kaki.

Novel bidadari Untuk Ikhwan Jilid JILID 13 

 

 “Kanda… lama banget sich!” sergah istriku. Sambil berlari memelukku.
“Kanda kan nggak lama-lama banget, sayang.” Jawabku. Sambil senyum, tak lupa untuk mencubit sayang hidung istriku.
“Wah… yang pengantin baru. Mesra banget!” Ummi. Ibu mertuaku. Mengagetkan kami berdua.
Aku tersenyum malu.
“Ummi… jangan gitu dong! Kan Farah jadi malu.” Ujar Istriku manja, sambil memeluk Ummi.
Ummi tersenyum hanya tersenyum. “Khalid, antum udah makan siang?”
Aku hanya tersenyum sambil menganggukan kepala. Waduh malu juga nich kalau ngomong belum!
“Kanda, gimana sich! Ana kan nunggu Kanda. Kok malah makan diluar! Kanda kan udah punya rumah. Kalau mau makan ya dirumah. Nggak boleh diluar. Kalau makan diluar itu, ajak-ajak dinda. Huh!” ucap Istriku panjang lebar.
“hehe… ana baru tahu kalau dinda cerewet!” ucapku sambil senyum. Tak lupa membelai pipi istriku.
“Khalid, antum belum tahu! Kalau Farah anaknya cerewet banget?” Kata Ummi sambil tersenyum.
“Ummi… buka rahasia aja!” Istriku sambil memeluk Ummi dari belakang. “Kalau gitu kanda tetap harus makan dirumah! Dinda udah siapin semuanya dimeja makan!”
“Hem… disiapin apa disuapin.” Kataku sambil tersenyum.
“Maunya…?” goda istriku.
Aku hanya tersenyum.
Istriku, mengajakku menuju ruang makan. Hem lumayan, dari tadi pagi nggak makan. Keroncongan juga nich.
Disela-sela makan. Farah, istriku. Menatapku. Entah kenapa, terlihat tatapannya begitu aneh. Tatapan-tatapan sendu. Tak seberapa lama.


“Kanda. Apakah Kanda mencintai Dinda?” entah kenapa istriku menanyakan hal itu.
Aku terdiam. Aku tatap wajah istriku dalam-dalam. Dinda ana nggak akan mau meninggalkan anti. Ana sayang anti. Gumamku dalam hati.
“Kanda… jawab dong!” istriku kesal. Karena aku diam saja. Kembali aku tersenyum. Berusaha memberikan senyuman yang termanis. “Dinda. Kenapa anti menanyakan itu! Padahal, nyata-nyata Allah telah memberikan bidadari tercantik didunia ini kepada ana. Ana tidak akan pernah, tidak mencintai anti! Sungguh Allah telah memberikan rasa cinta yang teramat dalam kepada ana, untuk mencintai anti!”
“Tapi, Kanda. Kenapa Kanda, masih malu-malu terhadap ana. Dan juga, kenapa Kanda tidak menjadikan rumah ini adalah rumah Kanda juga? Ana tadi melihat raut muka Kanda. Kanda malu untuk mengatakan, sesuatu. Kanda malu untuk makan bersama dirumah ini!” ucapnya serius.
“Afwan Dinda. Ana memang malu tadi! Ana belum memberikan nafkah sama sekali kepada anti!” Aku tertunduk lesu. Dengan masih memegang sendok dan garpu.
“Ana ikhlas. Antum memang belum dapat memberikan nafkah kepada ana saat ini!
Tetapi ana merasa antum telah memberikan nafkah batin ana dengan sangat berlebih.”
Istriku, menarik nafas dalam-dalam. “Kanda. Ana sayang sekali terhadap Kanda! Ana sudah tidak butuh lagi materi. Insya Allah, ana sudah sangat berlebih untuk materi. Meskipun kanda hanya memberikan ana uang seribu rupiah saja. Ana rasa, Kanda telah memberikan nafkah materi yang sudah berlebih kepada ana.”
Aku menggangguk. “Hem… kalau limar ratus rupiah gimana?” godaku.
“Yee… nawar!” seketika itu wajah istriku berubah menjadi ceria. Tak seberapa lama, dia menundukkan kepala. “Kanda. Ana nggak mau antum seperti tadi! Kanda harus ingat, semua yang ada disini adalah keluarga Kanda! Kita bukan orang lain.”
“Insya Allah. Iya Dinda! Ana juga merasa bahwa ana berada dirumah sendiri. Ana merasakan kehangatan keluarga, dirumah Dinda.” Aku tersenyum. “Ini Dinda yang masak yach?” selaku.
“Yee… kok mengalihkan perhatian sich!” ucap istriku. Seperti sewot. Tetapi semakin cantik saat seperti itu. “Iya ini ana yang masak! Khusus special buat antum!” jawabnya kalem. Sambil senyum simpul.
“Hem, pantes!”
“Pantes? kenapa? Ada yang salah? Nggak enak yach!” istriku terlihat kaget dan agak bingung. Terlihat, takut kalau masakannya tidak enak.
“Hem… enak sich! Lebih enak lagi, kalau Dinda belajar memasak lagi! Hehe…”
jawabku.
Sambil memelukku, istriku berkata. “Afwan ya Kanda, kalau masakan ana nggak enak. Ana memang baru belajar memasak!”
“Nah. kalau begini masakan anti lebih enak lagi.”
“Yee… maunya!” Sambil melepaskan pelukannya. Lalu berganti dengan mencubitku. Selesai makan. Kami berdua menuju ruang tamu. Membicarakan konsep-konsep pernikahan kita. Beberapa hal yang memang dan harus dipersiapkan untuk pernikahan. Hal-hal yang terkecil pun semua masuk hitungan. Seperti halnya musik dalam pernikahan. Kami tidak ingin nanti pernikahan kami diisi dengan nyanyian-nyanyian yang biasa digunakan oleh pekerja-pekerja soundsystem. Minimal nasyid pernikahan. Ya kalau boleh sich nasyid haroki. Biar lebih seru maksudnya. Tapi sayang usulku langsung ditolak oleh istriku. ”Nanti bukan dikira nikahan. Malah dikira mau demonstrasi! Atau yang lebih parah. Dikira ngomporin orang untuk berjihad.” itu katanya.
Dalam hal acara pesta pernikahan. Kami pun sudah sepakat untuk mengadakan dirumah. Sebenarnya sich bukan kesepakatanku. Hanya saja itu sudah tersebar diundangan. Tetapi, untuk metode atau cara pernikahan. Masih tetap diberikan keleluasaan kami berdua untuk mengurusinya. Tak lupa kami juga akan memakai hijab.
Untuk membatasi antara ikhwan dan akhwat maksudnya. Masalah hijab. Aku jadi teringat taujih ustad Ahmad Jalalludin. Tentang ikhtilat atau hijab. Taujih ustad Ahmad Jalalludin membuatku tahu akan semua itu. Dan sangat masuk akal sekali. Hanya saja, masih banyak ikhwan dan akhwat yang masih belum mendengarkan taujih itu.
Ternyata memang benar. Mempunyai istri itu sangat menyenangkan. Teman hidup yang begitu memperhatikan. Tidak salah, beberapa ikhwan yang menikah mengatakan seperti itu.

Pesta pernikahan kami tidak begitu meriah. Tapi bagi kami berdua, pesta pernikahan ini sangat mengesankan. Dipadukan dengan walimah. Dan tanpa ada lagu-lagu yang membuat orang menjadi lupa diri. Atau bisa dikatakan tidak syar’i. Aku beberapa kali menemui teman-teman ikhwanku. Dan istriku, Farah. Menemui temanteman
akhwatnya.
Aku baru saja menemui Prof. Susilo. Baru tahu kalau Abi adalah teman dekat Prof. Susilo. “Aku tidak menduga skripsi kamu cepat selesai, Khalid! Dan aku tidak menduga, kalau bisa menjadi sebuah mas kawin” ucap Prof. Susilo. Yang beberapa orang tersenyum. Termasuk Abi.

Terlihat sekumpulan Ikhwan memakai baju koko berseragam. Melayangkan senyum. Sekumpulan ikhwan itu membuatku jadi malu sendiri. Yanto, Deni, Heri dan Samsul.
“Assalamualaikum” serempak ucap mereka berbarengan.
“Walikumsalam” ucapku sambil tersenyum.
Yanto dan Samsul terlihat cengengesan.
“hehe… ternyata Ikhwan yang terbaik itu adalah antum sendiri ya!” ucap Deni. Aku hanya tersenyum.
“Hem. Katanya observasi Akh!” kata Yanto.
“Iya! Ana observasi istri sendiri!” ucapku. Disambut gelak tawa teman-temanku yang
lain. “
Hari ini walimahan. Sungguh menyenangkan. Mengabarkan kepada khalayak. Bahwa aku dan Farah Zahrani. Menjadi sepasang suami istri. Sepasang mujahid dan mujahidah yang sedang dilanda cinta. Yang akan maju dalam arena jihad. Dimedan yang akan semakin terjal. Jihad yang sesungguhnya. Menurutku.


Novel bidadari Untuk Ikhwan Jilid JILID 14

 

Malam yang indah. Aku dan istriku berjalan beriringan. Sedari kampus, aku langsung berjalan-jalan dikeremangan malam. Indah. Bintang-bintang menaburkan segala cahanya untuk menyemarakkan perjalanan kami berdua. Bulan bersinar dengan keremangan cahanya. Sungguh indah. Atau mungkin sebenarnya ini biasa. Hanya saja karena aku tidak pernah menikmati suasana seperti ini. Atau karena pada saat itu aku tidak mempunyai seorang pendamping disisiku. Semua keindahan ini memang benarbenar menjadikan kita benar-benar bersyukur. Sungguh, nikmat mana yang akan kamu dustakan.
Sudah delapan bulan aku menikahi seorang bidadari. Hidupku benar-benar menjadi sangat berarti. Aku benar-benar merasakan kasih sayang seorang bidadari. perangai yang lembut, tutur kata yang menyejukkan hati, sifat pengayom. Membuat aku benar-benar menikahi seorang bidadari surga. Tak lupa wajah yang cantik. Meskipun itu bukan prioritas. Kami berdua selalu melalui hari-hari dengan indah. Hari-hari penuh ibadah.
Tetap. Kami berjalan pada setiap relung-relung malam. Cahaya lampu tetap menyinari. Meskipun jalan-jalan yang kami lalui. Sepi. Hanya beberapa lalu-lalang mobil dan motor sesekali. Indah. Benar-benar indah. Serasa kamilah yang memiliki dunia.
Setiap langkah kami berjalan. Menyusuri trotoar disamping jalan yang beraspal. Ku hentikan langkahku sejenak. Seketika istriku pun berhenti. Aku memandangi dengan lembut wajah istriku. Sungguh nan elok wajah yang berseri dibalut dengan jilbab yang menutupi tubuhnya. Sungguh sangat cantik. Tubuh yang indah itu, bagaikan terbalut dengan prisai yang tidak akan pernah bisa tertembus dengan apapun. Meskipun dengan pedang dan peluru sekalipun.
“Ada apa, sayang?!” tanya istriku. Dengan membelai lembut pipiku.
Aku hanya diam dan tersenyum. Istriku semakin membalai lembut pipiku. Sangat mesra. “Ayo dong sayang! Ada apa sich? Kenapa kanda menatap dinda seperti itu?” serunya memohon jawaban.
“Nggak ada apa-apa kok! Ana hanya beruntung mempunyai istri, dinda?”
“Nggak! Bukan antum yang beruntung, kanda! Tetapi ana. Ana sudah sangat lama sekali memandam rasa simpati yang membuahkan cinta. Yang sangat lama. Ana sangat mencintai kanda!” istriku, memelukku dengan erat. Butiran air mengalir dimatanya.
Aku mengusap pipi istriku dengan lembut. “Dinda, sayang. Ana juga sangat mencintai anti dari dulu!” Aku tersenyum. “Sayang, sudah yach! Nggak enak kalau dilihat orang!” lanjutku.


Seketika itu istriku melepaskan pelukannya. Dia menoleh kekiri dan kekanan. Terlihat malu jika kami berdua dilihat oleh orang. Tetapi suasana saat itu memang sepi. Setelah itu istriku tersenyum. Senyuman yang menandakan, bahwa dia sudah terlihat berlebihan.
Aku pun tersenyum. Senyuman sayang, yang kutujukan untuknya. Bulan tetap bersinar, redup cahanya. Sehingga bintang-bintang pun tetap menemani sang bulan. Untuk menambah keindahan. Sejenak aku memandangi bulan.
Tidak lupa menyapa bintang-bintang. Hanya ingin mengatakan wahai bulan dan bintang, lihatlah. Aku disisi sang bidadari.
“Hem…. Ternyata kita bertemu disini. Khalid!” ucap seseorang. Berada dikeremangan malam.
Istriku tersentak. Kaget.
Entah siapa mereka. Terlihat jumlah mereka sekitar enam orang. Aku tidak bisa melihat jelas. Malam benar-benar telah menutupi mereka. Cahaya lampu jalan, pun. Tidak begitu jelas menyinari mereka. Apalagi rembulan dan bintang-bintang. Cahaya mereka terlalu redup untuk memberikan terang.
“Aku sudah lama mencarimu. Khalid!” ucap sosok tak dikenal itu. Aku seperti mengenal suara itu.
Dia mendekatiku. Cahaya lampu jalan tepat berada diatasnya. Tatapannya sangat tajam. Tertuju kepadaku. Matanya bagaikan menyimpan dendam yang sangat dalam. Wajahnya bengis. Efendi! Benarkah dia Efendi? Sebuah pertanyaan berlabu dibenakku. Manakalah seorang murtadin tepat dihadapannku. Aku pun dengan cepat memegang tangan istriku. Isyarat agar dia berada dibelakangku.
“Dinda. Nanti dinda harus lari! Ana akan hadapi mereka.” Bisikku lirih. Istriku menggelengkan kepalanya. “Kanda. Ana nggak akan meninggalkan kanda sekarang!” bisiknya lirih.
“Harus. Anti harus meninggalkan ana nanti! Ini permintaan ana.” Bisikku lirih sambil mencengkeram tangan istriku.
Istriku tetap menggelengkan kepalanya. Dia menatapku khawatir.
“HAI! Khalid. Kamu sembunyikan dimana gadis itu?” Bentak Efendi.
Entah aku bingung. Siapa yang di maksud Efendi. Aku tidak pernah melakukan apa-apa terhadap dia. apalagi menyembunyikan seorang gadis. “Apa maksudmu, Efendi!”


“Hah…! Berlagak, nggak tahu lagi.” Bentak Efendi. “Kepung, mereka! Jangan lupa, ambil gadisnya! Hahaa…” perintahnya dengan bengis.
Seketika itu pun aku langsung bersiap siaga. Ini saatnya aku menguji beladiriku. Sudah empat tahun ikut Tapak Suci. Baru kali ini aku bisa melawan penjahat sesungguhnya.
Gumamku dalam hati. Secara langsung aku pun menyerang orang yang berada dibelakang istriku.
Perkelahian pun tak terelakkan. Pukulan anak buah Efendi, beberapa kali. Aku patahkan. Dan dengan cepat, aku pun membalasnya. Celah sudah terbuka. Aku harus memerintahkan istriku lari. Karena betapapun, aku akan sulit mengalahkan enam orang. “Sayang…! Lari….. cepat!” teriakku keras.
Anak buah Efendi terlihat akan memegang lengan kiri istriku. Aku pun langsung memberikan ikan terbang (tendangan kedepan) “Bukk…” Dia langsung terjungkal. Alhamdulillah. Ucapku dalam hati. Istriku sudah bisa berlari menjauh. Aku tidak akan pernah menyerah dengan begundal-begundal bengis kafir itu. Ragaku bagaikan terbakar.
Bara api sudah berkobar. Ruhul jadid pun telah mengembang. Darah Khalid bin Walid pun telah mengalir. Allahu Akbar. Dengan sangat kesiagaan penuh pun aku menghajar mereka. Pukulan katak mengenai muka Efendi. Dua orang disamping kiriku, terkena sambaran harimauku (tendangan menyamping). Beberapa ada yang dibelakangku.
Dengan sangat keras pun aku langsung berbalik dan langsung menghantamkan katak kembar (dua pukulan berbarengan) kepada mereka.
Tenagaku bagaikan terkuras habis untuk menghadapi enam orang sekaligus. Beberapa pukulan mereka telah mengenaiku. Sakit memang. Tetapi rasa sakit itu sudah tidak dapat aku rasakan lagi. Ini adalah jihadku. Jika Allah mentakdirkan aku syahid. Maka ya Allah hambamu datang. Dengan berlari maju, layaknya Jet Lee menghajar musuh-musuhnya. Pukulan dan tendanganku beberapa kali mengenai mereka. Dan beberapa kali bisa ditangkis oleh mereka. Terlihat sekali, Efendi dan kawan-kawannya sangat kewalahan menghadapiku.
“Huh… bagaimana? Jangan pernah remehkan tentara-tentara Allah. Jangan kalian anggap, mujahid-mujahid Allah adalah orang yang lemah! Karena orang-orang kafir seperti kalian, tidak akan bisa menghadapi tentara Allah.” Kataku. Bernada mengejek.
Darah mengalir pelan dihidungku. Terlihat pula kepala, dan hidung Efendi pun berdarah. Beberapa wajah dari kawan-kawan Efendi, terlihat lebam. Ada juga yang meringis kesakitan, karena aku telah mematahkan tangan atau hidungnya. Kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Sungguh pertarungan yang sangat tidak seimbang. Meskipun tenagaku bagaikan terkuras habis. Tapi aku pun melihat hal yang serupa dialami Efendi dan kawan-kawannya. Aku tidak akan pernah menyerah menghadapi mereka. Khalid bin Walid saja bisa menghabisi puluhan orang pada saat berperang. Masa, hanya enam orang aku harus kalah.

Aku menatap tajam kepada mereka. Sedikit demi sedikit, aku sudah bisa menguasai nafasku. Tidak ngos-ngosan seperti tadi. Terlihat Efendi mengeluarkan goloknya. Dia tersenyum bengis kepadaku. Seperti akan mencincang diriku. Tidak semudah itu.
Seketika itu pun, Efendi dan kawan-kawannya menyerangku bersamaan. Spontan aku langsung menghindaar dari beberapa serangan mereka. Beberapa kali, golok Efendi menyerangku. Tetapi dengan cepat pun aku bisa menangkis serangannya. Dengan cepat aku pun langsung menghajar kawannya yang lain. Terlihat dari belakang Efendi menyerangku. Secepat itu pun aku langsung berbalik menangkis serangannya.
Secepatnya aku bisa merebut golok yang berada ditangannya. Tetapi, terasa ada benda tajam yang menusuk punggungku. Rasanya sangat nyeri. Aku pun berbalik, langsung melayangkan golok kearah kawan Efendi yang menusukku dari belakang “Sree….t!”
Kesalahanku adalah, hanya memperhatikan Efendi. Aku tidak memperhatikan kawan-kawannya
kalau mereka membawa pisau. Kawan Efendi terkena sabetan golok yang kurebut dari Efendi. Beberapa saat mereka memandangiku. Dan akhirnya mengalihkan pandangan kesalah satu kawan Efendi yang terkena sabetanku.
“Sudah, mundur!” bentak Efendi. Terlihat ketakutan.
Entahlah dia, ketakutan karena telah menusukku. Atau ketakutan karena aku masih bisa bertahan, dan membawa golok pula. Mereka langsung lari, sambil membopong temannya yang terluka. Tak lama mereka menghilang dari keremangan malam. Kini aku sendiri, merasakan nyeri yang teramat dalam. Tetapi aku tetap bersyukur. Istriku tidak dapat mereka lukai.
Kepalaku terasa ngilu, pening sekali. Mataku menatap kabur dalam cahaya lampu malam. Tubuhku terasa sangat lemas sekali. Seketika itu pun, mataku hanya bisa melihat gelap. Sangat gelap sekali.

 “Sayang, bangun!” ucap lirih istriku.
Sedikit demi sedikit aku membuka mata ini. Terasa sangat berat sekali.
Istriku tersenyum lembut. Dan mengusap rambutku dengan tangannya yang halus. Jemari lentiknya membelai mesra keningku. “Kanda, tidak apa-apa kan!” tanyanya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Aku ingin sekali bertanya kepadanya. Bertanya tentang keadaannya. Tetapi mulutku terasa sangat berat. Aku tidak bisa mengucapkan sepakatah-kata pun.


Istriku terlihat mengerti apa yang ingin aku tanyakan. “Alhamdulillah, dinda nggak apa-apa
kok! Kanda istirahat aja.”
Aku tersenyum. Jawaban keprasahan dan kesyukuran. Alhamdulillah.
“Kanda, ana akan mempunyai adik loh!” ucap istriku. Sambil tersenyum mesra, dan terlihat gembira.
Aku gembira. Tapi, entah apa maksudnya. Adik yang dimaksud itu. Apa istriku mengandung. Atau Ummi yang mengandung.
“Sudah ya, kanda! Dinda pergi sebentar.” Ucapnya dengan tersenyum. Lambat laun meninggalkan aku.
Aku ingin memanggilnya. Tapi mulutku keluh, tak bisa berkata apapun. Aku ingin mengatakan Jangan tinggalkan aku. Tapi dia tetap beranjak dan tersenyum kepadaku. Tak lama cahaya putih menyinari tubuhnya. Cahaya yang sangat kemilau dari tubuhnya. Sangat indah sekali. Tapi aku tetap ingin memanggilnya. JANGAN TINGGALKAN AKU, DINDA! Ucapku keras dalam hati. Tapi, istriku menghilang seketika. Bersama cahaya putih indah yang berkilau. Aku tergagap. Seketika itu, aku langsung membuka mataku.
Kini, aku hanya melihat Abi dan Ummi. Yang menemaniku dengan terlihat sangat cemas. Cahaya lampu dan beberapa orang berpakaian serba putih.
“Khalid, anakku! Engkau sudah sadar!” ucap Ummi terlihat gembira. Butiran air mengalir dari mata Ummi.
Aku tersenyum lemas. Aku mencoba untuk bangun. Tapi “Ah…” sakit sekali tubuhku. “Khalid, tetaplah berbaring. Tubuhmu masih belum cukup kuat. Kamu harus memulihkan tenagamu dulu!” Abi memperingatkanku.
Aku hanya mengangguk. “Farah?” satu kata terucap dalam mulutku. Abi dan Ummi saling menatap. Tersibak, wajah-wajah yang sangat mengkhawatirkan. Wajah yang nampak hanya kesedihan, ketidakpastian.
“Antum istirahat saja dulu! Tidak usah mengkhawatirkan istrimu.” Ucap Abi.
Bagaimana aku tidak mengkhawatirkan istriku. Dia adalah orang yang paling menyayangiku. Istriku adalah seorang bidadari yang akan sulit aku dapatkan didunia ini. Bagaimana aku tidak mengkhawatirkannya. Dia adalah tulang rusukku yang hilang. Dia adalah belahan jiwaku yang telah satu. Bagaimana aku tidak mengkhawatirkannya. Hatiku tidak menerima semua ini.

“Khalid. Antum, sudah jangan memikirkan Farah dahulu!” ucap Ummi.
Tapi bagaimana aku tidak mengkhawatirkan istriku. Sedangkan Ummi dan Abi terlihat sangat khawatir.
“Abi, Ummi. Tolong jelaskan ada apa ini! Dimana Farah sekarang?” Aku benar-benar bingung dengan semua ini.
Abi mendekatiku. Memegang lengan kananku. “Khalid, antum ditemukan oleh salah satu binaan antum sendiri. Punggung antum tertusuk. Dan setelah itu antum, tidak sadarkan diri selama empat hari. Selama itu, Zahra juga menghilang. Kami beberapa kali menghubungi HPnya. Tetapi tidak pernah aktif. Kami sudah mencarinya, bahkan melaporkan kepolisi. Tetapi sampai sekarang Zahra belum ditemukan.”
“HAH….!” Tubuhku terasa sangat lemas sekali. Semua ini memang salahku, kenapa aku menyuruhnya lari dari perlindunganku. Benar, semua ini salahku. Pasti, Efendi dan kawan-kawannya yang telah menculiknya.
Abi terlihat mengerti apa yang aku risaukan, betapa besar penyesalanku. “Khalid, ini bukan salah antum! Ini takdir, semua ini hanya takdir. Sudah digariskan oleh Allah.”
Aku tetap merasakan perih yang mendalam, dihati ini. Entahlah, kepalaku terasa berat sekali. Aku merasakan rasa pusing yang teramat sangat. Menyerangku tiada habisnya.
Dan, terlihatlah kegelapan itu kembali.

 “Khalid. Sebenarnya aku sudah beberapa kali menghubungimu. Tetapi kamu, tidak pernah ada dikontrakanmu. Aku juga sering mencari dikampus. Kamu, tidak pernah datang kekampus. Aku tahu kabar kamu, dari teman-teman LDK. Kamu dirawat disini.”
Ujar Hendra. Yang terlihat mencemaskanku.
“Iya, terima kasih Hen! Sebenarnya, kamu ingin bicara tentang apa? Skripsi kamu? Atau apa Hen!” jawabku.
“Khalid. Aku ingin mengatakan kepada kamu! Bahwa Nova menghilang. Dan, orang yang dicurigai telah menculik Nova. Adalah kamu! Sejak saat itu, anak buah Papanya Nova. Sibuk mencarimu! Makanya aku ingin memperingatkan kamu, agar kamu berhatihati, terhadap mereka.” Jelas Hendra.
“Oh… jadi itu! Pantas Efendi bertanya seperti itu. Tapi aku pernah ditelphone oleh Nova malam-malam. Dan dia terlihat khawatir sekali. Nova memberi tahukan rencana papanya untuk mencelakaiku. Dan juga, Nova bilang. Kemungkinan dia tidak akan bertemu aku lagi. Tapi anehnya, aku juga pernah ditelphone oleh seorang wanita malam-malam.
Diantara jam dua belas malam sampai jam tiga pagi. Tapi yang menerima telephone teman-temanku. Saat itu, aku tidak berada dikontrakan.!” Jelasku juga, panjang lebar.

Meskipun Hendra memeluk agama Kristen. Tetapi aku percaya Hendra tidak akan mencelakaiku. Karena aku tahu sifat Hendra. Dan Hendra, termasuk sahabat dekatku.
Walaupun kami berbeda keyakinan.
“Jadi, sekarang gimana?” tanya Hendra bingung.
“Entahlah! Aku juga bingung Hen. Istriku, hilang. Entah kemana dia! Aku sangat mengkhawatirkan dia.”
“Kamu sabar aja, Lid! Seperti kata kamu. Tuhan itu memberikan cobaan, sesuai dengan kemampuan hambanya. Aku yakin, kamu dicoba oleh Tuhan. Karena kamu mampu!”
“Insya Allah!”
Tak lama muncul beberapa orang memasuki kamar rawatku. Terlihat bang Jamal dan kawan-kawannya.
“Assalamualaikum!” salam bang Jamal.
“Walaikumsalam!” jawabku, sambil tersenyum.
“Bagaimana kabar kamu Khalid!” tanya bang Jamal
“Alhamdulillah sudah agak mendingan, bang! Kabar bang Jamal sendiri gimana?” tanyaku balik.
“Alhamdulillah! Baik-baik saja.” Jawab Bang Jamal. “Khalid, kita masih mencari Efendi! Kalau Efendi sudah kami temukan. Lihat saja nanti.” Ucap bang Jamal dengan menghantamkan tangan kanannya ditelapak tangan kirinya.
Aku tersenyum. “Bang Jamal tidak usah melakukan apapun, terhadap Efendi! Jika memang bang Jamal sudah menemukan Efendi, bang Jamal tinggal serahkan saja ke polisi.”
“Tidak, Khalid! Kami tidak akan melepaskan Efendi. Dia telah menghinaku. Dengan mengeroyokmu, dia telah menantang perang.” Ucap bang Jamal berapi-api. Terlihat kemarahan yang begitu besar.
“Iya, Bang! Tetapi alangkah damainya jika mengikuti aturan Negara ini. Aku nggak ingin bang Jamal ada apa-apa nantinya.”
“Khalid. Meskipun aku dipenjara karena membunuh Efendi. Aku rela. Tapi aku tidak akan pernah rela. Seorang saudaraku dizhalimi! Aku akan merasa terhormat jika, aku masuk penjara karena membela hak saudaraku yang telah dizhalimi.”


“Bang Jamal, aku takut jika yang terjadi balas-membalas masalah ini. Maka akan terjadi isu sara yang akan membuat kacau daerah kita! Walau kita memang benar, tetapi tetap kita tidak boleh membenarkan kekerasan yang sama dengan mereka. Tapi kita tetap berjaga-jaga!”
“Tapi, Khalid. Ini kan juga termasuk jihad!” sergah bang Jamal. Serius.
“Iya bang, ini termasuk jihad! Tetapi Bang, sesungguhnya jihad pun banyak macamnya. Dan seandainya bang Jamal melakukan sesuatu hal, yang bersifat kekerasan. Maka bertambah sulitlah pemecahan permasalahan. Yang ada malah berlanjut kepada kerusuhan. Ini sudah menyangkut sara bang! Abang bisa mencari Efendi. Tetapi jangan menyakitinya. Bawah dia ke kantor polisi!” ucapku memang agak keras.
Bang Jamal terlihat berfikir kembali. “Baik Khalid, aku akan menurut kepadamu! Tetapi tetap aku nggak akan pernah terima, kamu dizhalimi!”
“Iya bang, terima kasih!”
“Khalid. Aku ingin bertanya!”
“Iya, apa bang.”
“Kamu ternyata pintar beladiri yach!” ucap bang Jamal heran.
“Tidak, bang. Aku hanya bisa sedikit-sedikit!” ucapku merendah.
“hehe.. sedikit-sedikit, kok bisa melawan enam orang!”
Aku hanya tersenyum.
“Aku benar-benar tidak menyangka. Kalau kamu benar-benar pintar beladiri! Aku kira, para ustad seperti kamu. Bisanya cuma bisa berdakwah saja!”
“Bang, jangan melebih-lebihkan! Aku hanya bisa sedikit-sedikit kok. Dan sebenarnya, beladiri itu pun dakwah loh Bang. Rasulullah, adalah orang yang paling pintar beladirinya. Masa, umatnya tidak bisa beladiri. Seharusnya para dai dan ustad itu, malah harus dibekali dengan ilmu beladiri juga!” ucapku serius. “Ya. Jaga-jaga saja, kalau ada preman yang menguji ustad itu!” sindirku.
“Hehe… iya! Seperti kamu dulu.” Ucap bang Jamal. Sambil tersenyum lebar.
“Oh, iya! Kenalkan temanku Hendra.” Ucapku sambil menunjuk Hendra.
Setelah bang Jamal bersalaman dengan Hendra. Mereka berdua berpamitan kepadaku. Setelah semuanya pergi. Aku kini sendiri. Kembali teringat seorang yang aku cinta. Istriku. Yaa Allah, wahai penggenggam ruh. Penggenggam segala apa yang ada didunia. Lindungilah bidadariku. Lindungilah hambamu, lindungilah mujahidahmu. Yaa Allah, pertemukan aku dengannya kembali. Berikanlah kebahagianku yang lalu. Bahagia dengan bidadari yang engkau beri. Yaa Allah sesungguhnya, hanya engkah yang dapat memberikan kebahagiaan. Tapi yaa Allah, aku meminta-Mu. Untuk mengembalikan bidadari-Mu kepadaku. Engkau yang memberi, Engkau pula yang mengakhiri. Maka janganlah Engkau akhiri pemeberian-Mu kepadaku.

 “Gimana Akh! Enak nggak dirawat disini?” tanya Samsul disela-sela berjalan dikoridorkoridor
rumah sakit. Mengantarku pulang.
“Ya, enak juga. Banyak yang dapat ana ambil hikmahnya!”
“Ada, perawat yang akhwat nggak akh!” ucap Deni sambil nyengir.
“Huu… maunya!” ucap kawan-kawanku serempak. Bagaikan paduan suara.
“Banyak, akh! Semua perawat disini rata-rata akhwat.” Jawabku sekenanya. “Nah itu dia!
Perawat akhwat!” lanjutku, sambil menunjuk seorang perawat yang memakai baju putih rok pendek dan bertopi kecil putih.
Seketika itu teman-temanku tertawa. Perawat yang aku tunjuk itu melihat kami. Terlihat salah tingkah sikapnya.
Itulah, kata akhwat sudah menjadi hegomoni seorang yang berjilbab besar. Padahal, akhwat atau pun ikhwan. Hanyalah kata bahasa arab biasa. Yang berarti wanita atau pria. Jika kata-kata ikhwan dan akhwat itu terus bermakna aktivis dakwah. Jangan-jangan malah kata-kata itulah yang membuat dakwah tidak berjalan dengan lancar.
Jangan-jangan, kata itulah yang telah mempersulit dakwah. Jangan-jangan, kata itulah yang membuat dikotomi sesama umat Islam. Jangan-jangan, sudah terjadi pembedaan. Jangan-jangan, akan mudah mengakibatkan perpecahan umat. Jangan…..
“Akh, itu! Keluarga antum sudah datang.” Ucap Samsul, mengagetkanku. Abi dan Ummi. Terlihat menjemputku. Mercades hitam, tetap setia mengantar Abi dan Ummi.
Dalam perjalanan pulang. Aku terus mengingat istriku. Disetiap laju mobil ini, aku masih teringat dengan jelas kenangan bersamanya. Bidadariku. Bayang-bayang istriku terus terpusat dalam relung benakku. Sudah satu bulan aku dirawat dirumah sakit.
Tetapi tetap, istriku masih belum ditemukan.

Hari demi hari, aku lalui. Sebongkah harapan yang sia-sia. Sudah empat bulan, istriku tidak ditemukan. Efendi pun, belum ada kabar ditangkap oleh aparat atau oleh bang Jamal dan kawan-kawannya. Hati ini bagai tersayat belati yang tajam. Dimana cinta, saat-saat hidup hambar tanpanya. Aku ingin dia kembali.
Setiap detik dakwahku, kini kujalani tanpa seorang bidadari. Aku kini kembali sendiri. Menapaki dakwah-dakwah yang terus berjalan sesuai dengan waktu yang telah digariskan. Aku tetap harus bangkit. Meskipun bidadariku tak kunjung datang. Entahlah dimana dia. Yang terpenting, semoga Farah tetap dilindungi Allah swt.


Novel bidadari Untuk Ikhwan Jilid JILID 15

 

Tak terasa, sudah enam bulan aku sendiri. Tetapi tetap, aku harus berkreasi. Di pagi yang cerah ini. Aku nikmati segalanya. Kehangatan cahaya mentari, burung-burung yang berikicauan. Kini aku sudah tidak berada dikontrakan lagi. Rumah Farah kini aku tinggali sendiri. Abi dan Ummi sedang memperdalam ilmu agama di Mesir.
Koran adalah sarapan pertamaku, disamping juga teh hangat dan gorengan dimeja. “Seorang tewas, tertembak dibagian kepalanya.” Tertulis kecil dibarisan bagian kriminal. Foto mayat itu terpampang jelas. Lelaki tambun bertato. Berwajah garang dan bengis penuh kebencian. Apakah benar ini Efendi? Gumamku dalam hati. Aku tak percaya apakah itu benar-benar terjadi. Apakah itu benar-benar Efendi. Efendi telah mati tertembak. Tepat dikepalanya. Aku benar-benar kaget. Seorang yang aku cari-cari, kini telah tertembak mati.
“Tluutt….Tluttt…..” Bunyi HPku. Tertulis di LCD “Bang Jamal”
“Hallo… Assalamualaikum!” jawabku.
“Walaikumsalam…! Gimana kabar kamu Khalid?” ucap bang Jamal diujung sana.
“Alhamdulillah baik-baik saja Bang! Bang Jamal sendiri?”
“Aku juga baik-baik saja! Sudah lihat koran hari ini?” tanya bang Jamal. Terlihat gembira.
“Sudah bang! Efendikan?” ucapku memastikan.
“Iya benar!”
“Siapa bang yang melakukan?” tanyaku penasaran.
“Yang penting aku sudah berjanji kepada kamu, Khalid! Untuk tidak membunuh Efendi. Tapi Insya Allah ada banyak tentara Allah yang siap menghabisi murtadin yang sudah nyata-nyata menyatakan perang terhadap umat Islam” kilah bang Jamal.
“Iya, pasti banyak tentara-tentara Allah!” ucapku pasrah.
“Kamu tenang aja, Khalid! Teman-teman Efendi sudah akan dihabisi juga. Beberapa orang telah kami bawa ke Polisi. Yang lain, yang melawan. Kami habisi.” Bang Jamal pasti.
“Bang, saya ingatkan. Hati-hati, Islam juga melarang umat Islam membunuh seorang yang sudah menyerah. Atau bahkan menyiksa tawanan perang. Islam tidak membenarkan hal itu! Karena Rasulullah sudah berpesan untuk tidak pernah membunuh musuh yang sudah menyatakan dirinya menyerah.”


“Iya, Khalid! Kami akan menuruti apa kata kamu. Kami akan kasihkan kepolisi langsung! Ok, aku hanya mengabari itu aja kok. Tidak akan pernah aku rela, saudaraku dizhalimi! Meskipun dia lari keujung dunia sekalipun. Aku akan mencarinya!”
“Iya, bang! Tetap semangat. Dan tetap istiqomah!” ucapku.
“Ok! Baik-baik ya, Khalid! Assalamualaikum..!” seketika itu, bang Jamal langsung mematikan hpnya.
“Walaikumsalam!” Jawabku pelan.
Kini Efendi sudah pergi. Dijemput oleh malaikat Izra’il. Semoga dia masih mendapatkan pengampunan. Tapi, meskipun Efendi telah mati. Istriku belum kembali. Atau mungkin tak akan pernah kembali! Semoga dia tetap mengingatku.
“Ting…Tung” bunyi bel rumah. Membuatku tersentak dari lamunan. Segera aku beranjak untuk membukakan pintu.
Hem, paling-paling Samsul. Dia ingin memberitahukan tentang Efendi. Basi! Pikirku.
“Assalamualaikum” ucap Samsul. Saat aku baru setengah membuka pagar.
“Walaikumsalam! Masuk akh.” Ucapku.
“Nggak, ana sebentar aja kok! Ana hanya mau”
“Mau memberitahu apa ana sudah baca berita koran hari ini!” selaku.
“hehe… iya!” jawabnya cengengesan.
“Udah..!” jawabku. Sambil menganggukkan kepala.
“Oh…! Lalu gimana?” tanya Samsul penasaran.
“gimana apanya?” ucapku balik.
“ya itu! Anak buahnya sudah ketangkap belum?”
“Kelihatannya sudah! Bang Jamal, sudah menemukan mereka!”
“Oh! Bagus lah” ucapnya singkat.
“Nggak mau masuk beneran?” tanyaku penasaran.


“Nggak, Akh! Ana cuma, mau mengajak antum. Di LDK ada dauroh, tapi sayang ada satu murabbi yang berhalangan hadir! Antum siap gantiin?” ucap Samsul, terlihat serius.
Sayang juga kalau aku melepaskan amanah yang besar ini. “Ok, ana bisa!” jawabku sambil menganggukkan kepala. “kapan, waktunya?”
“Ya hari ini. kira-kira setengah jam lagi!” jawabnya. Terlihat pasrah. Takut kalau aku
nggak siap dengan materinya.
“Ok. Sekarang! Ayo berangkat!” ucapku. Sambil langsung menutup dan mengunci pagar rumah.
“Alhamdulillah…!” Samsul terlihat sangat senang dengan jawabanku.
***
“LDK, merupakan lembaga yang representative dalam mewujudkan cita-cita berdakwah dalam kampus. Di LDK, anggota-anggotanya tidak harus sudah mengerti tentang ajaran-ajaran Islam. Tetapi yang terpenting anggota-anggota LDK, siap dan mau untuk belajar serta mengamalkan ilmunya. Baik ilmu agama dan ilmu umum, untuk diterapkan dan diajarkan serta diamalkann kepada masyarakat. Jadi dakwah kita ini, tidak harus dimonopoli oleh segelintir orang. Tetapi, malah lebih bagus bila banyak orang-orang yang terlibat aktif dalam dakwah kita! Baik, ada yang bertanya?” ucapku. Setelah panjang lebar memberikan materi ke LDK an.
Terlihat salah satu mahasiswa yang mengangkat tangannya.
“Iya! Silakan.” Jawabku.
“Assalamualaikum…! Saya ingin menanyakan tentang rutinitas LDK di kampus ini. Dan setelah saya menjadi anggota LDK, keuntungan apa yang bisa saya dapatkan? Itu saja terima kasih”
“Hem… terima kasih atas pertanyaannya! Rutinitas kegiatan LDK dikampus ini, sangat beragam. Mulia dari sholat berjama’ah, kajian rutin, riyadho atau olah raga, rihla atau rekreasi rohani dan pelatihan-pelatihan. Sebenarnya kalau di jelaskan kegiatannya, sangat banyak sekali. Yang terpenting, kegiatan-kegiatan tersebut adalah upaya untuk memberikan Tarbiyah kepada kita. Semua itu untuk dapat meningkatkan tingkat pemahaman dalam pengetahuan agama kita. Jadi, kegiatan-kegiatan kita. Tidak hanya melakukan pengajian semata. Tetapi juga pelatihan-pelatihan. Dengan begitu kita dapat meningkatkan intelektualitas kita dibidang lainnya. Karena dakwah itu sangat penting.
Dan berdakwah itu banyak sarananya. Maka kita harus memakai sarana yang dapat kita pakai untuk dapat meningkatkan dakwah itu sendiri! Keuntungan yang akan anda dapatkan, pastilah sangat banyak. Saya tidak bisa menyebutkan keuntungan itu sekarang.
Karena keuntungan yang didapatkan, adalah terletak dari segi apa yang anda inginkan!”
jelasku. Panjang lebar.
Peserta-peserta LDK itu memang terlihat sangat bersemangat memperhatikan apa yang disampaikan oleh pembicara. Sejak awal, hingga akhir. Mereka sangat menyimak, materi yang telah diberikan kepada mereka. Beberapa ada yang tidak fokus memperhatikan materi. Ngantuk, melihat-melihat sekeliling atau berbicara dengan temannya tanpa memperhatikan pembicara. Tetapi itu pun, tidak berlangsung lama. Karena panitia langsung tahu apa tindakan selanjutnya jika acara terlihat membosankan. Dengan menciptakan beberapa permainan yang dapat merangsang otak kanan untuk kembali aktif. Sehingga acaranya bisa benar-benar membuat pengalaman baru buat mereka.
Beberapa akhwat, teman-teman istriku. Bertanya tentang kondisiku, perkembangan pencarian istriku, memberikan support untuk selalu sabar dan blaa….bla…
Itu membuatku teringat kembali. Teringat bidadariku lagi. Teringat masa-masa kasih dan sayangku berpacu dan beradu dengan kesetiaan sang bidadari. Apalagi teringat senyum sang bidadari. Sungguh benar-benar menjadi penghangat kalbu dalam segala kondisi. Apalagi menjadi penyembuh dalam segala hal penyakit yang aku alami. Tapi entah dimana bidadariku. Kini dia telah berlari dalam keremangan malam, yang akhirnya tak kembali. Bidadariku berlari dan terus berlari dalam keremangan malam. Keremangan saat aku melihat terakhir kali bersamanya. Memegang erat tangannya. Merasakan ketakutanku teramat dalam, jika istriku tertanggakap oleh Efendi. Semua sudah berakhir.
Beberapa ikhwan lebih banyak memberikan dukungan moral. Dukungan moral untuk mencari pengganti bidadariku. “Untuk saat ini, ana belum bisa dan belum siap mencari penggantinya!” itulah jawaban yang selalu aku lontarkan kepada para ikhwan.
Ikhwan-ikhwan yang belum mengetahui rasa sebuah cinta didalam hati. Cinta yang dianugerahkan Allah untuk makhluk-Nya, yang kini entah dimana. Lama aku berada disini, membuat keteringatanku muncul kembali. Menghiasi rongga fikir yang hampir terselubungi oleh kegelapan.
Lelah, aku sudah lelah berbincang tentang semua ini. Aku ingin kembali. Kembali berada pada bayang-bayang istriku lagi. Kembali pulang dan menikmati indahnya kemesraan dalam kenangan.
Aku masuk kedalam rumah besar itu. Rumah yang terisi dengan kenangan indah. Tetapi sekarang, suram semuanya. Keindahan yang aku inginkan hanya menjadi impian dan kenangan. Kerinduan yang teramat dalam, selalu keluar dalam ingatan. Setiap kali aku memandang segala yang berada dirumah besar ini.
“krucukk….krucukk..”
Hem, kelihatannya perut ini sudah mulai berdendang. Mengeluarkan nasyid yang berpadu dalam alunan melodi yang tak beraturan.


Segera saja aku menuju ruang makan. Ruang yang setiap makan siang, dihidangkan dengan kelezatan masakan bi Iyem. Seorang karyawan yang bertugas memasak. Biasanya disebut pembantu. Tetapi kalau dirumah ini disebut, karyawan.
Terlihat masakan yang sangat lezat. Ayam goreng yang dibumbui dengan aneka rasa. Entah apa nama bumbu itu. Yang penting terlihat lezat sekali. Apalagi aroma makanannya sangat menyengat sekali dihidung. Hem. Sungguh nikmat sekali. Apalagi ada sambal terasinya, dan lalapan. Oh itu ada sayur asam, dan ikan pindangnya juga. Enak sekali. Ini waktunya untuknya untuk makan enak. Memang seharusnya, yang berhak makan enak dan banyak gizinya. Itu adalah para da’I dan para ustad. Karena sangat butuh banyak tenaga dalam berdakwah. Pikirku sambil mencium aroma makan yang tersedia dimeja makan.
Tanpa komando lagi. Setelah berdoa. Aku langsung menyantap makananmakanan itu dengan lahap. Dengan penuh kenikmatan. Benar-benar tidak salah memperkerjakan bi Iyem. Entah kenapa perut terasa sangat lapar. Wah, ini pasti ujian kenikmatan dari Allah. Gumamku dalam hati.
Terdengar suara bi Iyem keluar dari dapur. Sudah biasa, bi Iyem pasti menawarkan aku minuman.
“Enak nggak, Kanda!”
“HA....” Seketika itu juga aku terdiam. Saat menyantap makanan dengan lahapnya. Aku terperana. Suara itu. Suara bidadariku. Apakah benar aku tidak bermimpi. Apa benar ia telah kembali.
“Jawab dong Kanda! Enak nggak masakan Dinda!” ucapnya dengan penuh kemanjaan.
Ya Allah benarkah ia! Apa benar dia bidadariku? Apakah dia benar-benar Engkau kembalikan kepadaku? Seketika itupun, aku balikkan badanku kebelakang.
Dia tersenyum, wajahnya seperti yang dulu. Sangat cantik. Terlihat binar matanya, menandakan kerinduan yang teramat dalam. Butiran air keluar dari pelupuk matanya.
Apakah aku tidak bermimpi? Ya Allah apakah Engkau benar-benar memberikan mimpi yang teramat indah ini? Jika benar ini mimpi, jangan bangunkan aku ya Allah.
“Kanda, kok diem aja sich? Dinda kangen!” ucapnya dengan penuh manja.
“A..pa benar…. A..pa benar. Apakah ana tidak bermimpi!” ucapku terbata-bata.
Serta mertapun istriku langsung memelukku. “Kanda, afwan. Ana meninggalkan kanda! Ana sangat mencintai kanda! Ana benar-benar telah membuat kanda tersiksa! Maaf kan dinda, Kanda!” ucap istriku dengan tangisan kebahagiaan.

“Dinda, ana kangen sekali! Ana benar-benar sangat lemah, saat dinda tidak berada disisi”
“Iya, afwan kanda! Ana, sangat menyesal”
Sejenak aku tatap wajah istriku. Benar-benar sangat cantik.
“Dinda! Apakah dinda tidak apa-apa?” tanyaku penasaran.
Istriku menggelengkan kepalanya. “Alhamdulillah ana baik-baik saja!”
“Anti selama ini dimana? Apakah anti benar-benar telah diculik oleh Efendi?”
Istriku tersenyum, lalu menggelengkan kepala lagi. “tidak kanda! Ceritanya panjang. Nanti saja ceritanya. Ana mau memperkenalkan seseorang!”
“Siapa, dinda?” tanyaku penasaran.
“Ukhti, mari masuk saja!” panggil istriku.
Tak lama, datang seorang wanita. berjilbab besar menutupi auratnya. Terlihat dia menundukkan wajahnya. Tetapi sebenarnya aku pun tidak begitu memperhatikannya.
Biasa, jaga image didepan istri.
“Kanda, kenalkan. Ukhti Nova!” ucap istriku.
Saat terdengar namanya. Aku langsung menatapnya dengan tajam. Aku merasa sangat kenal dengan ukhti itu. Aku merasa pernah melihat dia sebelumnya. Seperti, seorang akhwat yang aku lihat dipengajian kampung binaanku. Desa kumuh itu. Aku ingat, benar-benar wajahnya mirip sekali. Tetapi aku juga, merasa bahwa dia adalah Nova. Gadis Kristen itu. Apakah benar dia? tanyaku dalam hati.
“Assalamualaikum…!” ucap Ukhti Nova.
“W..alaikumsalam!” aku benar-benar tergagap untuk menjawab salamnya.
“kenapa, suamiku!” ucap istriku manja. Seperti cemburu.
“Ah, tidak. Ana hanya teringat seorang teman saja!” jawabku sekenanya.
“Teman, apa teman!” goda istriku. Sambil mencubit pinggangku.
“Iya teman!” ucapku sambil tersenyum. Sakit.
Nova hanya tersenyum.

Malam telah menghanyutkan kami berdua. Aku dan istriku. Sudah sangat lama aku tidak merasakan kehangatan belaian kasih sayang istriku. Ini benar-benar kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadaku. Setelah ujian yang sangat berat aku lalui. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan pasti ada kemudahan. Sungguh besar nikmat Allah.
“Kanda. Kanda kangen nggak sama dinda?” ucap istriku dengan manja.
“Dinda, ana begitu benar-benar tersiksa saat anti menghilang! Ana benar-benar tidak bersemangat sekali”
“Iya, dinda tahu!”
“Ha! Dinda tahu?” ucapku penasaran.
“Selama ini, dinda hanya pergi sebentar. Saat kanda menghadapi Efendi dan kawankawannya.
Ana benar-benar takut. Saat itu ana mencemaskan kanda. Tapi setelah ana lari. Ana malah teringat dengan ukhti Nova. Sebenarnya ana sudah lama membina ukhti Nova. Hanya saja, ana masih merahasiakannya. Ukhti Nova lari dari rumah itu pun atas usul ana. Sekarang ukhti Nova tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Ana takut jika nanti ukhti Nova pulang. Malah tambah parah keadaannya.”
“Hem jadi akhirnya, anti rela mengorbankan ana!” ujarku dengan memalingkan muka.
“Kanda. Bukan begitu maksud ana!” ucapnya dengan membelai pipiku. “Ana rasa, kalau kanda lebih mampu menghadapi musibah daripada ukhti Nova.”
“Hem, lalu selama ini anti ada dimana?”
“Ana berada dirumah kita yang kedua! Selama ini ana terus memantau kanda. Kanda kemana, dimana, sama siapa. Ana mengetahui segalanya. Apalagi saat kanda berada dirumah sakit. Ana tetap memantau kanda.” Ucap istriku serius.
“Wah dinda, berbakat juga jadi spionase yach!”
Istriku tertawa kecil. “Ana hanya menjaga suami aja kok, kanda! Oh, ya. Ana baru tahu, kalau kanda benar-benar pintar beladiri! Kanda, kok tidak pernah cerita kalau kanda bisa beladiri?”
“Siapa dulu, kanda!” ucapku sambil menepuk dada.
“Iya, siapa dulu. Suami dinda!” sahut istriku, dengan berasandar didadaku. “Kanda, sayang. Dinda ingin meminta tolong! Bisa nggak?”
“Apa, sayang!”


“Boleh nggak ukhti Nova tinggal disini!” tanya istriku dengan sangat menjaga ucapannya.
“Loh itu kan terserah anti, ini kan rumah anti!”
“Kanda, sayang! Ini rumah kita, bukan hanya rumah ana” ucap istriku bernada kesal.
“afwan sayang, iya-iya. Ini rumah kita!” jawabku, sambil membelai mesra rambut istriku.
Senyumnya kembali merekah. Sambil kembali bersandar didadaku. “Kanda, apa boleh ukhti Nova tinggal disini?” tanya istriku lagi.
“Iya boleh dong, dinda!”
“Maksud ana, boleh nggak ukhti Nova tinggal di rumah ini!” tanya istriku sekali lagi.
“Iya sayang, boleh!” jawabku mempertegas.
“bukan itu, maksud ana!” ucap istriku terlihat kesal karena ketidaktahuanku. Setelah mendesah, istriku mengatakan “maksuda ana, kanda mau nggak menjadi suami ukhti Nova!”
“Ha…!” seketika itu pun aku terperanga. Aku tidak percaya dengan ucapan istriku. Entahlah pikiran apa yang terlintas dibenak istriku.
“Kanda! Mau nggak?” ucapnya, seraya menggoyang-goyangkan tubuhku. Dengan tetap bersifat manjanya.
“Apa maksud anti?” tanyaku heran.
“Tidak ada maksud apapun! Ana hanya ingin kanda menikahi ukhti Nova. Itu aja!”
jawabnya polos.
“Sayang-sayang, anti nggak apa-apa kan?” tanyaku penasaran. Dengan memperhatikan wajah istriku, sambil memegangi kepalanya.
“KANDA! Ana nggak kenapa-napa.” Ucapnya sedikit keras. Aku terdiam sesaat sambil melihat tajam kearah istriku. Sesaat istriku menarik nafas panjang. Dengan sedikit mendesah istriku mengatakan. “Kanda, ana hanya ingin menjadi muslimah yang baik! Muslimah yang menyayangi saudara sendiri! Ana nggak ingin menjadi akhwat yang egois. Ana ingin membagi kebahagiaan yang ana miliki bersama kanda. Dengan membaginya kepada akhwat lain! Kanda, sungguh ana tidak kenapa-napa. Ana tidak punya penyakit yang kronis apalagi
bosan terhadap kanda. Sehingga dengan mudah ana mau melepaskan kanda. Kanda, ana memang sangat menyayangi kanda. Ana sangat bahagia bersama kanda. Tetapi, saat-saat kebahagian yang kita pupuk bersama. Ada segolongan akhwat, yang tidak merasakan kebahagiaan kita. Mungkin ini berat bagi ana. Dan memang itu sangat berat bagi ana.
Untuk mengikhlaskan kanda membagi rasa kasih sayang, yang kanda punyai. Kanda, sesungguhnya semua ini ana lakukan, karena ana sayang terhadap saudara ana yang lain. Ana ingin akhwat lain, juga merasakan kebahagiaan kita. Kanda, sesungguhnya poligami itu juga termasuk rahmat dari Allah, dan merupakan sebuah langkah dakwah. Dan apakah kanda lupa, bahwa surga adalah jaminan bagi wanita yang mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi!” Istriku tertunduk. Terlihat jelas, butiran-butiran intan yang berada dimatanya berjatuhan.
Aku tertunduk lesuh. Amanah yang diembankan istriku, terlalu berat. “Sayang, ana takut. Ana takut, jika ana tidak bisa berlaku adil!”
Istriku memelukku erat. “Kanda, ana yakin antum bisa berlaku adil. Sesungguhnya, penilaian adil dan tidaknya. Hanya ana yang bisa merasakannya. Saat bersama kanda, ana semakin yakin. Bahwa kanda bisa berlaku adil. Ya, meskipun kanda tidak dapat berlaku adil masalah hati. Tetapi yang penting adil dalam pandangan syari’at sudah kanda jalani. Ana sangat ikhlas.”
“Sayang, ini sangat berat!”
“Kanda, ana akan membantu mengingatkan kanda. Jika suatu saat kanda akan berbelok arah jalan. Ana siap menjadi jaminan.”
“Hem..!” desahku. Aku benar-benar bingung. Semula, sebelum nikah. Aku merasa mudah untuk berpoligami. Tetapi saat sudah menikah dan mendapatkan Farah Zahrani.
Aku merasa cukup, untuk hanya memeliki satu istri.
“Mau, ya! Jika memang kanda menyayangi dinda. Ana mohon, kanda bersedia!” paksa istriku. Jemari-jemarinya memegang erat jemariku. Layaknya menguatkan aku untuk mau menerima permintaannya. Permintaan yang sangat berat sekali. Aku hanya menganggukkan kepala, tanda menyetujuinya. Meskipun dengan keterpaksaan. Tetapi tetap aku harus bisa, berlaku adil.
Istriku tersenyum. Meskipun jelas dimatanya, terlihat gejolak yang sangat besar dihatinya. “Terima kasih kanda, sayangku!”
“Lalu kata Abi dan Ummi nanti?” tanyaku bingung. Benar-benar masalah yang sulit, kata-kata apa nanti yang terucap dari mertuaku. Mungkin, “sudah dikasih harta, istri yang sholeh dan cantik. Masih saja belum cukup!” pikirku.
“Abi sudah mengatakan, “Terserah jalan yang kau pilih, jika itu baik menurutmu maka lakukanlah.” Dan Ummi mengakatan “Alhamdulillah, anakku sudah dewasa. Dan sekarang menjadi wanita yang hebat!” itulah ucapan beliau berdua” ucapnya dengan senyum.
“Ha… Anti sudah mengatakannya! Berarti selama ini Abi dan Ummi tahu keberadaan, dinda?” tanyaku semakin bingung.
“Iya! Abi dan Ummi sudah tahu lama keberadaan ana. Saat hari kelima, kanda dirawat dirumah sakit. Ana langsung menghubungi Abi dan Ummi untuk tidak khawatir tentang keberadaan ana. Dan tetap, keberadaan ana tidak boleh diberitahukan kepada siapapun.
Termasuk, kanda!” jelas istriku.
Pernikahan keduaku sudah terlaksana. Wali dari istriku yang kedua, Maria Nova. Adalah petugas dari KUA. Pernikahan keduaku berjalan baik, beberapa teman-temanku datang memberi selamat. “Wah, ditinggal istri, malah dapat dua istri!” bisik Samsul.
Beberapa teman-teman Nova dari UK3 (Unit Kegiatan Kerohanian Kristen Katolik) juga hadir, memberikan selamat. Termasuk Hendra. Rasa kekeluargaan masih tetap berjalan baik, meskipun keyakinan kami sangat berbeda. Tetapi tetap, dalam koridor hubungan sesama masyarakat. Istri pertamaku, Farah Zahrani. Terlihat wajahnya sangat gembira, meskipun matanya menyiratkan sebuah kegundahaan. Kegundahan seorang wanita, seperti kegundahan kecemburuan ibunda Aisyah.
Satu bulan setelah aku menikah. Aku pulang kedesa, dengan membawa kedua bidadariku. Dua sayap, yang akan senantiasa memberikan jalan kesejukan. Yang akan mengajakku terbang, kedalam singgasana Ilahi. Tetapi, tetap. Kedua sayapku merupakan amanah yang sangat besar, diembankan oleh Allah kepadaku. Jika aku tidak dapat berlaku adil. Maka, nerakalah tempat bagi manusia yang tidak bisa berlaku adil.
Bapak dan Ibu sempat kaget, saat aku memberitahukan tentang kedua istriku. Tetapi setelah itu, Bapak dan Ibuku menjadi orang tua yang sangat berbangga sekali. Saat melihat bagaimana sifat akhlak kedua istriku. Apalagi, hanya aku didesa yang masih muda tetapi sudah mempunyai dua istri. Selain pak Haji Ridwan yang beristri dua juga.
Tetapi itu semua bukan karenaku, karena Allah yang telah membimbing mereka kedalam jalan-Nya. Nurul, terlihat sangat gembira. Karena, selama ini yang diidam-idamkannya telah terwujud. Yaitu, mempunyai kakak perempuan. Bahkan, lebih baik daripada apa yang diimpikannya.
Dan ternyata benar. Nadia, ustadzah Nurul. Adalah teman istriku Farah Zahrani. Yang bernama Nandia. Sempat aku dan kedua istriku, bersilahturahmi dipengajian yang dibina oleh Nandia. Tetapi tak lama, aku dan istri-istriku bergegas pulang. Karena masih banyak amanah yang belum sempat dikerjakan. Dalam perjalanan pulang, akupun mengatakan kepada istri-istriku “bagaimana, bidadari-bidadariku! Siap untuk menambah saudara lagi nggak!”

“Ih.. maunya! Dua belum cukup yach.” Serempak jawaban tanpa komando. Dan beberapa cubitan pun, mendarat dipinggangku. “Aduh…. , Sakit sayang!”


Selesaiilah Novel Bidadari Untuk Ikhwan