Novel Bidadari Untuk Ikhwan jilid 8 - 13
Suasana pagi
begitu sejuk. Matahari bersinar tetapi tidak begitu terik. Teman-teman kontrakan
sudah banyak yang bersiap untuk berangkat kuliah. Seperti biasanya. Aku masih
santai duduk-duduk diteras, sambil menunggu siapa yang akan berangkat duluan.
Itung-itung bisa nitip ngeposkan surat dikampung. Tak lama muncul Heri dengan,
terlihat sudah siap untuk berangkat kuliah.
“Akh, mau
berangkat yach!” sapaku
“Iya! Antum
nggak bimbingan Akh?”
“Nggak, lagi
pengen nyantai dulu! Oh ya, ana bisa nitip ngeposkan surat akh?”
“Wah
surat-suratan sama siapa nich!” setelah Heri melihat alamat yang dituju. Dia mengatakan
“Kenapa nggak lewat telphon aja? Kan lebih cepat dan efisien!” Jelasnya.
“Hem… nggak, ana
lebih leluasa kalau pake surat! Biasalah, katakan dengan penamu”
ucapku bercanda.
Heri
mengangguk-angguk sambil terlihat senyum.
“Ok, akh! Ana
berangkat dulu. Assalamualaikum”
“Walaikumsalam!
Akh, ini uang untuk beli perangkonya” kataku sambil merogoh saku celana.
“Nggak usah,
Akh! Nanti aja, totalan belakang” ucapnya sambil ketawa-ketawa.
“Ok deh,
makasih!”
Kini surat telah
dikirim. Tinggal menunggu balasannya. Aku masih tetap duduk-duduk dalam ruang
batas yang tak tentu. Anganku kini menerawang, menembus mega-mega yang riak
berarak mengelilingi bumi dengan putihnya. Sosok Farah kembali bersamayam di
otakku. Farah bagaikan hantu yang terus mengikutiku. Menjadikan aku lupa akan
semuanya. Mungkin Allah ingin menguji tentang keistiqomahanku untuk menjaga
niat. Niat untuk menyempurnakan agama Islam ini. Menikah. Aku seharusnya tidak
boleh termakan oleh rayuan bayang-bayang fana ini. Bayang-bayang Farah adalah syetan
yang menginginkanku untuk melepaskan niatku. Sungguh cobaan yang sangat sulit
untuk dipertahankan. Tetapi aku harus bisa. Aku harus bisa mempertahankan, menjaga
niatku. Untuk aku persembahkan pada istriku kelak. Farah Zahrani.
“Akh, ngelamun
aja!”
Sontak aku
kaget. Saat Samsul menegurku.
“Hem… antum ini
kok senangnya ngagetin orang!”
“Nah, antum
sendiri kok ngelamun aja! Antum nggak bimbingan?”
“Nggak! Ana
sudah bisa nyantai sekarang. Tinggal nunggu ujian skripsinya aja!”
“Wah enaknya,
antum sudah nggak ada beban lagi! Nggak kayak kita-kita lagi. Yang beban kuliah
masih berada dipundak. Berat!” ujar Yanto yang sudah berada disamping Samsul.
“Iya dong!
Makanya kalian kuliah yang baik-baik. Jangan sampai mengecewakan orang tua!
Orang tua kalian itu susah-susah bayar kuliah, makanya jadi anak yang bisa membanggakan
orang tua” kataku sambil berlagak jadi orang tua.
“Iya… Mbah!!!”
serentak ucap Yanto dan Samsul, sambil ketawa.
“Akh Deni
kemana? Apa nggak ada kuliah dia? Ana dari tadi nggak melihatnya!”
“Loh, antum itu
gimana! Akh Deni kan pulang kekampung. Katanya, kakak perempuannya mau
menikah!” jawab Yanto.
Samsul
mengiyakan perkataan Yanto, dengan mengangguk-anggukan kepala.
“Oh!”
“Nah kalau antum
kapan Akh?” tanya Yanto
“Antum? Siapa
nich! Ana apa Akh Samsul?” jawabku sok tidak tahu maksud Yanto.
“Antum itu
ngeles aja Akh!” ujar Samsul
“Udah-udah nanti
antum terlambat loh! Tuh dah pukul 8.30!” ucapku mencoba mengakhiri pembicaraan.
“Hehehe… ada
yang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan! Ana dengar-dengar sudah ada seorang
Ikhwan yang berta’aruf dengan ukhti Farah, loh Akh!” ucap Yanto
ngejek
“Hehhee… antum
keduluan nich akh!” ujar Samsul sambil cengengesan.
“Yeee… biarin.
Tuh ikhwan pasti orangnya cakep and smart! Soalnya, sudah berani berta’aruf
dengan ukhti Farah” ujarku
“Yup… pasti!
Yang pasti sich, nich ikhwan kalau kemana-mana nggak jalan kaki. Nggak suka
blusukan diperkampungan kumuh. Lalu nggak bergaul dengan preman-preman kampung”
ujar Samsul sambil ketawa.
Kami serempak
ketawa bareng.
“Udah deh! Ana
berangkat dulu, nanti bisa-bisa ana nggak boleh masuk kelas” ucap Samsul
“Iya, ana juga
mau berangkat!” sahut Yanto
“Assalamualaikum”
serempak mereka berdua mengucap salam
“Walaikumsalam”
Teman-temanku
belum tahu, kalau sebenarnya. Seorang ikhwan beruntung, yang akan menikahi
ukhti Farah. Adalah ikhwan yang biasanya kalau kemana-mana jalan kaki. Sukanya
blusukan diperkampungan kumuh. Lalu senangnya bergaul dengan preman-preman
kampung. Ucapku dalam
hati. Aku masih duduk dalam kesendirian.
Sendiri karena
teman hidup masih belum terikat. Terikat dalam janji suci Ilahi. Teh dan sebuah
buku Fiqih Prioritasnya Dr. Yusuf Qaradhawi, menemaniku. Suasana lambat laun menjadi
sepi, keramaian hilir mudik para mahasiswa, siswa sekolah dan pekerja. Sudah tak
tampak lagi.
“Kebanyakan
orang-orang yang pergi ke tanah suci pada musim haji setiap tahun adalah
orang-orang yang tidak lagi dibebani untuk melaksanakan kewajiban ini, karena mereka
telah melakukannya pada masa-masa sebelumnya. Orang-orang yang pergi ke tanah
suci dan sebelumnya belum pernah melaksanakan ibadah ini, jumlah mereka tidak lebih
dari 15%. Kalau kita asumsikan bahwa jumlah jamaah haji 2.000.000 orang, maka jumlah
orang yang baru pertama kali melakukan ibadah ini tidak lebih dari 300.000 orang.
Alangkah baiknya bila dana yang mereka keluarkan untuk ibadah sunnah itu, dimana
jumlah mereka ada mayoritas, begitu pula orang-orang yang melakukan ibadah umrah
sunnah sepanjang tahun, khususnya pada bulan Ramadhan. Dialihkan untuk mendanai
perjuangan di jalan Allah SWT. Atau untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka,
muslimin dan muslimat, yang terancam kehancuran material maupun spiritual.
Dan untuk
membiayai mereka dalam menghadapi musuh-musuh mereka yang ganas, yang
menginjak-injak kehormatan mereka, dan tidak menginginkan keberadaan mereka di
dunia ini. Negara-negara di dunia ini sebenarnya melihat dan mendengar keadaan mereka,
akan tetapi mereka berdiam diri dan tidak bergerak, karena sesungguhnya kemenangan
itu berada di pihak yang kuat dan bukan kekuatan di pihak yang benar.
Bisyr al-Hafi
pernah mengatakan, “kalau kaum Muslimin mau memahami, memiliki keimanan yang
benar, dan mengetahui makna fiqih prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan
yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat. Setiap kali dia dapat
mengalihkan dana ibadah haji untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang
yang kelaparan, memberi tempat perlindungan orang-orang yang terlantar, mengobati
orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja
kepada para penganggur.”
Masya Allah. Ucapku lirih
dalam hati.Buku fiqih prioritasnya Dr. Yusuf Al Qaradhawy, seharusnya dapat
menggugah para orang-orang muslim yang kaya untuk dapat bersatu merapatkan
shaff dalam barisan perjuangan. Sehingga tidak terjadi suatu kehendak yang hanya
bersifat keshalehan pribadi, tetapi tidak mendapatkan sebuah kemaslahatan pada masyarakat.
Banyak sekali orang-orang yang hanya menginginkan keshalehan individu.
Sehingga
menafikkan keshalehan umum. Menganggap bahwa, suatu hal yang menurut kehendaknya
menyenangkan. Maka itulah yang harus dia lakukan, untuk menyenangkan hatinya.
Yaitu sebuah kesenangan yang hanya menentramkan hatinya, tetapi mengacuhkan
kesenangan saudara-saudaranya. Banyak orang-orang muslim yang masih sangat
membutuhkan uluran tangan dari saudara-saudara muslim yang lainnya. Kalau lah kita
hanya menyalahkan para misionaris yang sedang gencar-gencarnya memurtadkan orang-orang
Islam. Itu tidaklah adil. Karena letak dari kesalahannya, adalah karena kita tidak
pernah perduli dengan saudara-saudara kita sesama muslim. Sehingga Itsar,
satu kata dalam barisan muslimin telah terkoyak dan rusak. Itsar hanya
menjadi selogan kosong, dan hanya menjadi kenangan sejarah yang menganggumkan.
Bukan menjadikan semangat kita, untuk menjadikan contoh bagi diri dalam
mencintai saudara-saudara muslim.
Aku jadi
teringat sebuah cerita para pasukan muslim yang akan bertempur malawan tentara
kafir. Saat-saat para tentara kafir mengira bahwa tentara Islam tidak pernah
melatih kekompakan. Tetapi, tidak diduga-duga. Saat tentara kafir melihat
tentara Islam yang sedang menyebrang sungai. Hingga salah satu tentara Islam
kehilangan kantong air minumnya kedalam sungai. Tanpa dikomandopun, seluruh
tentara Islam langsung mencari kantong air milik saudara seimannya. Melihat
kejadian itu, seketika tentara kafir langsung menyerah. “Bagaimana kita akan
menyerang sebuah pasukan. Yang pasukan itu sangat perduli dengan temannya.
Kalau kita bunuh salah satu tentara Islam. pastilah mereka semua akan
membinasakan kita” ucap panglima perang tentara kafir. Sungguh ini menjadi
pelajaran bagi umat Islam. Pelajaran untuk saling perduli dengan saudara
seimannya. Itsar.
Novel Bidadari Untuk Ikhwan jilid 9
Aku beranjak
dari tempat dudukku. Teringat, kalau aku mempunyai sebuah kewajiban. Kewajiban
untuk saling mengingatkan. Aku ingat, kalau saat aku harus mengisi kajian para
preman. Bergegas aku mengambil handuk serta peralataan untuk mandi. Biasa,
kalau lagi nggak kuliah atau nggak ada kegiatan. Mandi hanya sore saja. Paling
nggak aku harus sudah membiasakan diri mandi dua kali sehari. Agar nanti nggak malu
kalau sudah menikah dengan seorang bidadari.
Benar-benar
segar rasanya. Sungguh Allah benar-benar maha sempurna. Menciptakan sesuatu
tiada yang sia-sia. Bahkan air pun, sungguh sangat berharga. Sampai-sampai
Allah, selalu mengiming-imingkan surganya dengan air sungai yang
mengalir segar.
Sungguh bodoh bagi orang-orang yang mengatakan “perumpamaan Allah itu hanya
untuk orang-orang Arab saja! Allah, hanya menakut-nakuti orang Arab dengan Api.
Dan memberikan gambaran surganya dengan air! Ya, memang orang Arab pasti takut
api karena mereka tinggal didaerah panas. Dan mereka akan senang dengan air karena
mereka benar-benar membutuhkan”
Pernyataan yang
bodoh. Sesungguhnya semua manusia pada dasarnya menyukai air dan tidak menyukai
api atau yang berhawa panas. Lalu apakah orang-orang Eskimo suka memakan api?
Karena mereka tinggal di kutub! Tentu tidak, jikalau mereka terbakar mereka pun
akan kepanasan. Dan sesungguhnya, api yang sangat kecil pun bisa menyakiti
manusia. Tidak seperti es atau air.
Kini aku sudah
bersiap untuk berangkat. Menuju ladang pahala yang siap untuk dicangkul. Dan
semoga aku dapat menuai hasilnya kelak. Desa kumuh tempat mangkal kajian para
preman tidak jauh dari tempatku. Jadi hanya dengan berjalan kaki, maka akan lebih
cepat. Kalau naik angkot, malah harus muter-muter dulu. Matahari begitu terik, meskipun
waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi. Langkahku tegap penuh semangat, menuju
pahala yang menanti untuk aku petik. Dan aku nikmati kelak dimasa yang akan datang.
Mata ini sudah
memandang sederetan rumah-rumah kumuh yang membentang. Beda sekali dengan
perumahan-perumahan yang aku lewati. Sungguh ironis, kehidupan hedonis yang
menyekat mereka. Menyekat antara si miskin dan si kaya. Apalagi kekuatan kapitalis
yang begitu gencarnya menghancurkan orang-orang miskin. Tapi tunggu, umat Islam
akan bangkit. Memumpuk kejayaan masa silam yang gemilang. Dan umat-umat kafir
menjadi umat-umat yang meminta perlindungan umat Islam. Allahu Akbar.
Sebuah rumah
kecil, sudah terlihat. Tempat mangkal kajian para preman. Rumah Bang Jamal.
“Assalamualaikum”
salamku serentak orang-orang yang didalam rumah menjawab “Walaikumsalam”
Sungguh lega,
kini aku sudah dikelilingi orang orang-orang yang siap untuk menimba ilmu.
Berjihad dalam mencari Ilmu.
“Maaf, saya
terlambat yach?”
Bang Jamal
tersenyum.
“Oh, tidak
Khalid! Kita hanya berkumpul lebih awal saja”
“Wah ada sesuatu
yang penting yach Bang?” tanyaku heran
“Iya, Khalid!
Bahkan sangat penting sekali. Kita berkumpul lebih awal disini, untuk membicarakan
sesuatu pada kamu, Khalid!” ucap bang Jamal
“Apa itu Bang?”
tanyaku penasaran.
“Kita lagi mau
meminta pendapat kamu. Apa hukuman bagi orang yang keluar dari agama Islam?”
ucap bang Jamal. Dan serentak anak buah bang Jamal pun berharap meminta jawaban
kepadaku.
“Hukum bagi
orang yang murtad, dalam Islam! Pertama-tama si murtadin itu disuruh untuk
kembali pada agama Islam dan bertobat. Tetapi kalau tidak mau kembali ke agama Islam,
maka harus dipenggal kepalanya atau dibunuh!”
Semua
orang-orang yang berada dirumah Bang Jamal, memperhatikan penjelasanku.
“Kalau begitu,
kita harus membunuhnya sekarang!” sontak teriak Udin, anak buah bang
Jamal.
“Iya, kita harus
memenggal kepalanya!” ucap Ghofar menyetujuinya. Anak buah bang Jamal yang satu
ini memperlihatkan raut muka yang sangat geram.
“Sebentar!
Sebentar, Bang! Ini ada apa?”
“Khalid, Efendi
telah murtad! Dia sudah tidak beragama Islam lagi” ucap bang Jamal.
“Oh! Tapi
sebentar! Seharusnya kita harus mempertanyakan kebenarannya dulu, dan setelah
itu kita harus memperingatkan Efendi dulu, untuk masuk pada agama Islam lagi dan
menyuruhnya untuk bertobat! Dalam Islam orang murtad tidak langsung dipenggal atau
dibunuh” ucapku
“Tapi, Efendi
sudah nyata-nyata murtad kok! Dia sendiri yang bilang kalau dia sudah
pindah agama”
ucap Udin.
“Hem, kalau
seperti itu pun. Kita tidak boleh membunuh Efendi! Karena kita bukan dinegara
Islam. Kita dinegara yang memiliki hukum sendiri. Jadi kita tidak bisa seenaknya
menghukum orang dengan sekehendak kita” kataku.
“Tapi, Khalid.
Efendi telah murtad. Bukankah dalam hukum Islam, seorang yang murtad harus
dibunuh” sahut Ghofar lagi, sembari mengepalkan jarinya. Seraya ingin sekali menghajar
efendi.
Memang jika para
preman sudah dibekali dengan pemahaman ilmu agama yang kuat. Semangat mereka
untuk menerapkan agama Islam menjadi sangat tinggi. Tetapi, tetap aku harus
bisa mengontrol semangat para preman ini. Karena, jika tidak. Para
mujahidmujahid
ini akan
mengalami kesulitan hukum. Dan sebagai murabi, aku harus bisa mengarahkan
pandangan para preman ini. Pikirku.
“Khalid,
sebaiknya kita datangi saja Efendi. Lalu kita tanya tentang kemurtadannya. Itu akan
lebih baik” ucap bang Jamal.
“Iya, memang
sebaiknya begitu. Tetapi jika memang Efendi murtad. Dan tidak lagi dapat diajak
kembali kedalam agama Islam. Saya harap, tidak ada kekerasan. Biarlah Efendi tetap
berpegang teguh dengan keyakinannya. Tetapi kita, tidak akan berhenti berjuang untuk
membela agama yang haq ini” kataku tegas.
“Kami tidak akan
melakukan tindakan kekerasan, Khalid! Kamu bisa percaya pada kami!” ucap bang
Jamal.
Aku hanya
mengangguk. Kami pun berangkat menuju rumah Efendi. Barisan-barisan mujahid
yang terlihat garang dengan kemurtadan saudaranya. Bagaikan sebuah gemuruh ombak
yang melaju untuk menyingkirkan batu karang. Langkah-langkah tegap, terus manapaki
jejak-jejak para mujahid. Sebuah rumah yang terlihat sama dengan rumah lainnya
sudah terlihat dihadapan.
“Efendi keluar
kami…!” teriak Ghofar dengan keras.
“Iya cepat
keluar kamu…! Kita nggak sudih melihat orang munafik seperti kami” ucap
Udin.
“Iya….!”
Serentak mengiyakannya.
Tak lama Efendi
keluar dari rumah. Dandanan kumuh, kusam, kusut. Tidak ditemui lagi pada sosok
Efendi. Kulitnya yang hitam kusam, sekarang menjadi hitam manis. Rambut yang
biasanya awut-awutan, menjadi licin dan mengkilat. Sungguh benarbenar berbeda
sekali dengan Efendi yang dulu.
“Ada apa, ini?”
Tanya Efendi.
“Dasar munafik!
Sok tidak tahu kedatangan kita!” Ucap Ghofar keras, sambil mengepalkan jemari
tangannya.
“Sebentar
kawan-kawan!” ucapku serius, “kita tanya dulu kebenaran berita itu kepada Efendi.
Kita masih ingat janji kita sebelum datang kesini bukan! Ingat tidak boleh ada kekerasan
sama sekali. Saya yang bertanggung jawab atas semua ini”
“Iya!
Kawan-kawan. Biar Khalid yang menanyainya, dan kita tetap harus memegang janji-janji
kita sejak awal” ucap bang Jamal.
Semua memandang
Efendi dengan tatapan yang tajam. Tatapan kebencian yang memuncak. Tetapi
tetap, mereka harus bisa menahan diri. Efendi terlihat begitu santai, dia tidak
memperlihatkan rasa takutnya kepada teman-temannya. Wajahnya terlihat sangat
yakin, bahwa dia tidak akan disakiti.
“Efendi, apa
kamu tahu kami datang kesini bermaksud untuk apa?” tanyaku
“Aku tidak tahu!
Apa yang sebenarnya kalian inginkan dari aku?”
aku tersenyum,
lalu mengatakan “Efendi, kami dengar engkau sudah keluar dari agama Islam? Kami
kesini untuk menanyakan hal itu!”
“Oh…! Hanya masalah
itu” ucap Efendi dengan agak sombong. “ya.. aku memang sudah keluar dari agama
Islam! Karena kalau aku tetap beragama Islam maka aku akan seperti kalian. Yang
kumuh, kotor dan miskin!” lanjutnya.
“Sialan kau…!
Dasar munafik! Pengkhianat!” umpat beberapa para pengikut bang Jamal kepada
Efendi. Serentak hampir-hampir mereka akan menghajar Efendi.
“Berhenti….!
Sabar…! Sabar... teman-teman” teriakku.
“Ini sudah
penghinaan Khalid! Aku tidak akan membiarkan munafik itu hidup!” ucap bang
Jamal dengan keras. Bang Jamal yang tadinya bersikap tenang. Menjadi benar-benar
marah. Wajah kebenciannya tertuju pada seorang murtadin, yang telah menghina agama
Islam.
“Iya Bang..!
Tapi kita harus tetap sabar. Ingat janji kita tadi sebelum berangkat! Sabar Bang.
Dan tolong percayakan semua pada saya” ucapku menenangkan bang Jamal.
Lambat laun
emosi bang Jamal kian mereda. Nafas yang memburu sudah bisa dikendalikan. Wajah
merah dan tatapan tajam berangsur-angsur mereda. Tetapi Efendi hanya tersenyum
sinis. Efendi benar-benar tidak menampakkan wajah seorang yang ketakutan. Dia
terlihat sangat yakin dengan keyakinan yang dia anuti sekarang.
“Kawan-kawan,
ingat kepala kita harus tetap dingin. Hati boleh panas, tetapi kepala tetap bisa
berfikir realitas. Kita bisa melihat Efendi, sebenarnya dia ketakutan. Tetapi
karena dia meyakini agama yang dia anuti sekarang. Dia merasa sangat yakin
bahwa dia akan selamat dari kita. Ingat kawan-kawan, Islam adalah
rahmatanlil‘alamin. Dalam syariat Islam, kita harus melindungi orang yang
berada di sekitar kita. Meskipun ada sekolompok yang kita lindungi itu adalah
orang-orang kafir. Tetap kita harus melindungi dia. Sungguh, sangat besar
nikmat Allah yang telah memberikan petunjuk kepada kita.
Sehingga kita
mengetahui yang benar dan yang salah. Saat ini, kita sedang diuji untuk mengetahui
itu semua. Efendi sangat yakin dia tidak akan kita sakiti. Karena Efendi tahu bahwa
Islam tidak pernah menyakiti siapa pun. Jadi kita tetap harus bersifat sabar. Meskipun
Efendi murtad dari agama Islam. Tetapi ingat, kita hidup bukan di Negara Islam.
Saya tidak mau, ada orang yang terpancing dengan ucapan-ucapan Efendi yang menyakitkan.
Kita harus ingat tujuan awal kita! Yaitu hanya mengklarifikasi kemurtadan Efendi.
Tidak lebih dari itu! Sekarang kita sudah tahu bahwa Efendi sudah murtad.
Dengan begini
maka kita harus lebih waspada terhadap pemurtadan di daerah kita.”
“Tapi Khalid.
Apa yang akan kita lakukan kepada Efendi?” tanya Ghofar
“Tidak ada! Yang
bisa kita lakukan adalah, berdoa kepada Allah agar Efendi diberi hidayah
kembali oleh Allah. Sekarang kita bubar saja. Dan saya tidak ingin terjadi sesuatu
pada Efendi. Ingat bahwa kita umat Islam, yang cinta damai, menebarkan selamat,
dan menjadi rahmat”
“Hem, baik
Khalid! Saya yang akan menjamin tidak akan terjadi apapun di daerah ini”
ucap bang Jamal.
Tatapan sinis
Efendi, menebarkan permusuhan kepada umat Islam. Serentak kami pun membubarkan
diri. Tidak akan pernah terjadi kerusuhan, selama umat Islam tidak di terzhalimi.
Tidak akan pernah terjadi perusakan didaerah Islam, meskipun daerah itu juga dihuni
oleh orang-orang non Islam. Karena Islam adalah memberi kedamaian, keselamatan
dan kebahagiaan
Novel Bidadari Untuk Ikhwan jilid 10
Langkahku
gontai, semangatku pun menurun. Semua ini adalah sebuah kesalahan besar.
Kesalahan yang telah menyebabkan seorang harus keluar dari agamanya. Sungguh aku
sangat malu. Sangat berdosa. Ternyata dakwahku tidak sebagus apa yang aku impikan.
Ternyata dakwahku tidak seindah angan-anganku. Terciptanya daerah kumuh yang
Islami, masyarakat kumuh yang bisa mandiri. Sungguh sangat memalukan, sangat ironis
dengan kenyataan yang aku bayangkan. Aku telah gagal. Gagal dalam memberikan hidayah
kepada seseorang, dan gagal dalam membina sebuah kebenaran.
Tetap, langkahku
gontai dalam setiap menit penderitaan jiwa yang meronta atas semua yang telah
terjadi. Aku menyangka, bahwa aku sudah dapat menjadikan seorang bermental
baja, kuat dalam agamanya, dan tidak mudah luntur dalam melihat sebuah gemerlapnya
dunia. Sungguh semua itu telah gagal. Aku kembali ke rumah kontrakan dengan
kekalutan jiwa. Rasa bersalah yang teramat dalam, serta rasa berdosa yang terus
menekan rongga pikiran.
Aku dudukkan
tubuh ini dalam kursi kayu bercat cokelat yang mengelupas. Aku ambil segelas
air minum. Dinginnya air yang telah aku minum, sedikit membuatku terasa lebih
baik. Tetapi semua itu hanya sementara. Rasa bersalah kembali hinggap, hingga menyesakkan
dada. Rasa berdosa pun tidak luput menekan rongga fikirku. Semuanya berada
tepat dihadapanku. Semuanya. Iya benar, semua kesalahan terletak kepadaku. Terletak
pada kelalaianku, ketidak seriusanku dalam berdakwah, ketidak pekaanku dalam mengetahui
permasalahan yang ada. Sungguh semua ini benar-benar kesalahanku.
Inginku
berteriak keras. Tetapi aku takut. Takut jika para tetangga dengar, dan mengira
aku gila. Inginku menangis tersedu-sedu kepada Allah. Tetapi aku takut, jika tangisanku
akan membuat teman-temanku bingung dikira ingin menikah. Sungguh aku bingung
dan berdosa.
“Tlluuutt….tlluuuut”
Hem, deringan
telphone ini tidak mengetahui kegalauan hati. Dari tadi bunyi terus.
Teman-teman pada
kemana sich. Ucapku
dalam hati. Dengan langkah yang teramat malas aku mengangkat telephone.
“Halo…!”
“Halo..selamat
malam!”
Hem nih akhwat
kok telephone malam-malam! Pasti mau cari Samsul untuk ngingetin kalau besok
ada syuro’.
“Bisa bicara
dengan Khalid!” ucap wanita itu membuyarkan lamunanku.
“Iya ini Khalid!
Ini siapa yach?” tanyaku penasaran. Penasaran baru kali ini di telephone akhwat
malam-malam.
“Ini aku Lid!
Nova” ucapnya
“Oh, iya ada apa
Nov! Kok tumben malam-malam telephone” ucapku. Padahal dalam hatiku mengatakan Hem
wanita kok telphone malam-malam. Nggak sopan, tau!
“Maaf ya Lid.
Aku telephone malam-malam. Aku cuma mau memberitahu kamu!”
Wah aku harus
hati-hati nih. Ternyata nih cewek bisa baca pikiranku pikirku dalam
hati sambil ngetawain diri sendiri.
“Wah ada apa
nich Nov?” tanyaku penasaran
“Khalid, aku
tahu kamu marah sekarang! Kamu marah karena ada seorang muridmu yang telah
keluar dari agama Islam”
Loh tahu dari
mana Nova? Ucapku
dalah hati
“Kamu tahu dari
mana Nov?” tanyaku penasaran
“Aku tahu
semuanya Lid! Semua itu adalah hasil usaha dari papaku. Kini Efendi sedang menyusun
sebuah rencana untuk mengkristenkan semua desa kumuh itu Lid! Dan kamu harus
hati-hati Lid. Efendi dan teman-teman papaku, merencanakan sesuatu yang akan mencelakakanmu.
Saya mohon kamu berhati-hati!”
“Hem, terima
kasih Nov! Tetapi kenapa kamu memberitahukan itu semua kepadaku!”
“Khalid, aku
tidak ingin kamu celaka. Aku tidak ingin seorang yang bisa membimbingku dari
jalan kegelapan menuju kejalan yang terang, celaka. Sungguh Khalid aku sangat mengkhawatirkan
kamu!”
“Iya Insya Allah
aku akan berhati-hati! Kamu tidak usah begitu khawatir terhadapku.
Karena semua
takdir ada di tangan Allah. Kita pasrahkan saja kepada Allah” ucapku
“Iya, sudah dulu
Khalid! Mungkin kita tidak akan bertemu lagi seperti ini. Aku mohon kamu
berhati-hati”
Tak sempat aku
mengucapkan beberapa kata perpisahan. Nova menutup telephonenya.
Sungguh ironis.
Benar-benar menjadi sebuah peringatan bagiku. Bahwa musuhmusuh Allah selalu
akan mencelakai umat Islam dengan cara apapun. Gundah hati ini semakin
memuncak.
Aku kembali ke
kamar, dan mengambil buku suci pedoman hidup manusia. Al Qur’an. Hanya inilah
cara satu-satunya yang dapat memperkuat diriku lagi.
[2.214] Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya :
"Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu
amat dekat.
[16.110] Dan
sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah
menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah
itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[2.218]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad
di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
[3.142] Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.
[5.35] Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan
diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan
[5.54] Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui.
[9.16] Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum
mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak
mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[9.41]
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.
[25.52] Maka
janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka
dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar.
Kini aku sudah
menjadi kuat kembali. Semangat dan tenagaku telah pulih kembali. Layaknya mobil
yang telah diisi dengan bahan bakarnya, yang bisa melaju dan melesat jauh. Maka
aku pun begitu. Kini semua tenagaku pulih kembali. Aku sudah siap untuk kembali
ke medan pertempuran. Aku tidak akan pernah takut lagi.Ghirohku adalah sebuah
kobaran api yang akan melalap para penghina dan musuh-musuh Islam. Allahu Akbar.
Pagi begitu
cerah. Tetap sama seperti biasanya. Hilir mudik para pelajar, mahasiswa,
pekerja. Semua tetap sama. Tapi kini aku kembali diisi dengan tenaga yang tak
akan mudah menyerah. Semuanya telah masuk kedalam relung darahku. Menambah semangat
juangku. Untuk kembali lagi seperti dulu. Bukan orang-orang yang kehilangan, ghiroh
untuk berjuang.
Tetapi tidak
seperti biasanya. Kontrakan yang biasanya ramai dengan para ikhwan yang akan
berangkat kuliah. Sekarang menjadi sepi. Entah kemana saudara-saudara seperjuanganku.
Semenjak dari tadi malam. Tidak terdengar suara gaduh para ikhwan yang sedang
bercengkrama, atau ramai berdiskusi tentang segala hal. Entah kemana mereka.
Sebuah kertas
yang berserakan, berada di depan pintu kontrakan. Entah kertas siapa ini.
Mungkin saja hasil ujian teman-teman yang terjatuh. Tak berpikir panjang aku segera
menyelamatkan kertas itu. Dari pada nanti, diambil orang. Sehingga tahu aib terbesar
di kontrakanku. Pantang mendapat nilai D. Bisa-bisa menjadi rumor atau
gosip paling baru. Setelah aku ambil. Terlihat sekilas, bukan seperti kertas
ujian. Tetapi terdapat sebuah tulisan dibaliknya. Entah dari mana pikiran ini.
Serasa ingin membaca sebuah tulisan yang terlihat sangat acak-acakan. Aku tak
ambil pusing, langsung saja aku membacanya.
Masya Allah.
Sungguh ini bukan tulisan biasa. Ini sebuah untaian kata-kata seorang ikhwan
yang putus asa. Entah punya siapa ini. Apakah kepunyaan temantemanku?
Terbesit tanya
dipikiranku. Kata-kata yang menusuk jiwa. Sebuah penyadaran yang aku harus
sadar dengan kata-kata itu. Aku harus menyembunyikan kertas ini. Sebelum dibaca
teman-teman. Aku harus tahu, ini kertas siapa!
“Assalamualaikum!”
ucap Samsul dan Deni saat baru datang.
“Walaikumsalam”
jawabku. “dari mana Akh! Kok pulangnya cepat banget”
“Nggak dari
mana-mana!” ucap Samsul malas.
Sekilas Heri,
mengerdipkan mata kanannya. Seraya memberikan pesan untuk tidak meneruskan
pertanyaanku.
Memang tidak
seperti biasanya sahabatku yang satu ini. Samsul. Seorang ikhwan yang sangat
bersamangat. Kini terlihat sangat layu. Sangat tidak bersemangat. Entah apa yang
membuat dirinya menjadi seperti itu. Tak seberapa lama, Samsul langsung masuk kekamarnya.
Raut mukanya terlihat sangat gelisah.
“Akh, emangnya
ada apa?” tanyaku kepada Heri.
“Entahlah Akh!
Nggak jelas. Mungkin karena gosip teman-teman” ucapnya malas
“Ha! Gosip?
Emang Akh Samsul di gosipin apa? Seperti artis aja!” ucapku sambil
tersenyum.
“Antum kok malah
bergurau Akh!”
“Nggak, bukan
begitu. Ana hanya bingung aja!” ucapku
“Bingung,
kenapa?”
“Iya, bingung.
Kok masih ada gosip? Kita kan dilarang untuk ghibah!”
“Nah itu Akh.
Ana juga bingung! Malah gosipnya menyebar luas sekali dikalangan kita.”
ucap Heri dengan
agak bingung.
“Hem, ternyata
kita memang harus banyak belajar untuk menjaga lisan kita ya Akh! Emangnya
gosipnya apa, Akh?”
“Afwan,
Akh! Kalau antum pengen bertabayun, mendingan langsung kepada Akh Samsul aja.
Biar lebih jelas”
“Hem, iya benar
juga! Harus langsung kepada orangnya. Agar lebih jelas”
Tak seberapa
lama Samsul keluar dari kamar. Wajahnya masih terlihat lesu.
Seperti sedang
mencari sesuatu yang hilang.
“Akh, mencari
apa?” tanyaku penasaran
“Afwan, Akh!
Antum tahu potongan kertas nggak. Mungkin aja terjatuh disekitar sini!”
“Ini!” jawabku,
sambil menunjukkan potongan kertas yang dimaksud.
Samsul
mengangguk dan diambilnya kertas itu dari aku. “Akh, Antum membaca isi
kertas ini?”
tanya Samsul, terlihat agak malu.
“Iya! Ana baca.
Afwan, ana lancang membacanya.”
“Tidak apa-apa!
ini memang salah ana. Tidak menempatkan sesuatu yang penting pada tempatnya!”
ucapnya, terlihat kesal dan malu.
“Akh, ana pengen
bicara dengan antum! Bisa?” sergahku, saat Samsul akan memasuki kamarnya.
“Tafadhol!
Dikamar ana aja, Akh” Samsul sambil membuka pintu kamarnya.
Aku langsung
saja masuk kekamar Samsul.
“Ada apa, Akh?”
tanya Samsul
Aku tersenyum.
“Bukan ana, yang ada apa! Tetapi antum, ada apa? Boleh tahu?”
Samsul menunduk lesu
dia terdiam. Setetes air matanya jatuh. Tak lama, Samsul mengangkat
kepalanya. Terlihat berat sekali.
“Akh, ana telah
melakukan sesuatu kesalahan yang besar! Kesalahan yang membuat ana menjadi
benar-benar terjerembab kedalam lubang kenistaan. Lubang fitnah yang teramat dalam.
Ana, tak sanggup berdiri lagi akh! Ana malu. Sungguh ana malu” ucap Samsul dengan
deraian air mata yang sudah tak tertahankan lagi.
“Afwan,
memangnya apa kesalahan antum!” tanyaku penasaran.
“Akh, suatu kali
ana pernah membonceng seorang akhwat! Yang pada saat itu, dia memang tidak
mempunyai uang lagi untuk pulang. Ana pada saat itu kasihan! Sehingga muncul
ide untuk membonceng akhwat itu. Karena pada saat itu ana juga nggak punya uang
untuk ana berikan kepada akhwat itu!” Samsul berhenti sejenak, mengusap air matanya.
“Ana yang memaksa akhwat itu untuk mau dibonceng. Dengan dalih bahwa ana saat
itu membawa tas yang besar, yang dapat menjaga hijab antara ana dan akhwat itu!
Setelah itu, ana
mengantar akhwat itu pulang. Lalu tak lama munculah ghibah (gosip) antara
ana dan akhwat itu. Mengingat ana dan akhwat itu memang dekat. Dekat dalam artian,
bahwa akhwat itu adalah sekretaris ana.” Secara mendadak Samsul langsung menghentikan
perkataannya. Tangisnya berderai kembali, sambil terisak dia kembali mengatakan
“ana telah merusak Akhwat itu! Dia telah tercemar dengan noda yang ana buat.
Dan orang yang paling ana segani, malah percaya dengan orang lain. Dari pada dengan
ana.”
“Mentor antum?”
tanyaku
“I..ya!” jawab
Samsul terbata-bata.
“Ana boleh tahu,
mentor antum siapa?”
“Akhi Shulthon!”
jawabnya singkat.
“Akhi Shulthon!
Ikhwan ekonomi itu yach? Adek kelas ana!” tanyaku penasaran.
“Iya, akh!”
“Hem! Begini
akh! Ana mungkin, perlu menceritakan tentang kasus ikhwan yang lain. Pernah ada
seorang ikhwan yang pada saat itu dia sedang naik angkot. Yang pada saat itu,
angkotnya sangat penuh. Sehingga ikhwan itu harus berdesak-desakan dengan penumpang
yang lainnya. Dan lucunya, disamping Ikhwan itu ada seorang akhwat. Yang terpepet
juga bersama sang ikhwan. Ironisnya lagi, si akhwat berada pas disamping kanan ikhwan,
yang pada saat itu si akhwat sudah sangat terpojok. Sehingga terlihat, bahwa si
Ikhwan sedang berdua-duan dengan si akhwat. Sesudah peristiwa itu, tak lama.
Muncul ghibah, bahwa si Ikhwan sedang berdua-duaan dengan akhwat,
didalam angkot. Dan yang ironisnya lagi, bahwa si Akhwat adalah kader bawahan
si Ikhwan. Hanya sayang si Ikhwan tidak mengetahui si Akhwat adalah kader
bawahannya, karena si Ikhwan tidak pernah memandang Akhwat di organisasinya
dengan tatapan langsung! Setelah muncul ghibah itu, kabarnya si Akhwat
sudah tidak pernah terlihat lagi diorganisasi! Kata beberapa sumber, bahwa si
Akhwat malu dan futur akibat dari ghibah itu.” Sejenak aku menatap
Samsul dengan senyum. “menurut antum, siapa yang salah?” tanyaku.
“Apakah itu
benar, pernah terjadi?” balik tanya Samsul
“Iya memang
pernah! Dan yang terkena itu adalah Senior ana. Sebelum antum masuk kuliah!”
“Ana bingung,
Akh! Entahlah, siapa yang salah?” ucap Samsul, serba salah.
“Tidak ada yang
salah! Yang salah, adalah yang percaya.”
“Maksud, antum?”
“Iya, yang salah
adalah yang percaya dengan cerita itu. Karena pada dasarnya, semua itu adalah
ujian. Baik yang melihat si Ikhwan dan si Akhwat pada saat di angkot, maupun juga
si Ikhwan dan si Akhwat. Karena pada dasarnya, ujian bagi yang melihat si
Ikhwan dan si Akhwat itu, adalah ujian bagi lisannya. Dan ujian bagi si Ikhwan
dan Akhwat itu, adalah ujian kekuatan keimanan mereka berdua. Saat dilanda
dengan peristiwa seperti itu. Jika mereka kuat menahan ujian itu, maka mereka
akan mendapatkan peringkat yang baik di hadapan Allah swt. Tetapi jika mereka
tidak kuat, maka akan menjadi kerugian bagi mereka!”
“Lalu bagaimana
dengan kasus ana?” ucap Samsul bingung.
“Ya.., sama!
Jika antum dan si Akhwat kuat dengan ujian itu. Dan antum memang nggak ada
maksud apapun selain menolong akhwat pada saat itu. Maka Insya Allah, akan ditutupi
oleh Allah dengan sendirinya.”
“Lalu sikap ana
gimana, pada ikhwan dan akhwat yang sudah mempercayai ghibah itu?”
“Antum tinggal,
diam saja! Nggak usah memperbesar masalah. Kalau mereka bertanya, katakan yang
sebenarnya! Kalau mereka nggak nanya, dan ngomong dibelakang. Ya sudah, dosa
ditanggung mereka. Toh kita sudah diingatkan Allah, untuk selalu menerapkan
rasa ingin tahu kita dengan bertabayyun.”
“Iya, ana akan
menerapkan taujih antum!” ucap Samsul, terlihat sangat lega.
“Akh, apakah
hina seorang Ikhwan yang menolong Akhwat? Padahal kita selalu diajarkan untuk
menolong. Apalagi pada saudara seiman kita sendiri. Ya, memang pada dasarnya
kita tidak diperbolehkan berkhalwat, atau bahkan bersentuhan dengan yang bukan
muhrim. Tetapi secara garis besar, jika masih ada bentuk pertolongan yang lebih
baik. Maka cara itulah yang harus dipergunakan. Tetapi manakala memang tidak
bisa.
Ya.., dengan
terpaksa kita tetap harus menolong. Meskipun kata saudara-saudara kita, itu dilarang
atau tidak syar’I. Kalau memang tidak ada pertolongan lain, maka ana yakin. Bahwa
itu juga termasuk rhukso.”
Tak lama Samsul
merobek-robek kertas yang berada digenggamannya. Kertas yang menuliskan semua
isi hatinya. Yang bertuliskan. “Aku bingung, aku benar-benar bingung. Sungguh
aku benar-benar bingung. Hanya kata bingung yang dapat aku berikan. Ya Allah
sungguh aku benar-benar bingung. Sungguh tidak aku sangat bingung, mungkin aku
sudah gila. Sangat-sangat gila. Semua otakku berpatri pada kegilaan. Sehingga
semuanya menjadi gila. Bingung dengan kegilaan yang mendalam. Ya Allah apakah
engkau memberikan aku rasa gila ini begitu dalam? Sungguh aku tak kuasa
mendapatkan rasa gila ini. Ya Allah maafkan semua salahku. Jadikan aku begitu
kuat. Kuat sehingga aku bisa mengalahkan hati dan nafsuku. Sekuat aku bisa
menghabisi musuh-musuhMu. Ya Allah berikan aku kekuatan. Kekuatan yang mampu
menahan rasa maluku kepada hamba-hambaMu yang tahu dengan kejelekanku.
Sekuat-kuatnya ya Allah. Aku maluuuuu sungguh aku sangat malu ya Allah.
Aku bingung,
gila dan malu. Semua ada pada diriku. Aku terkucil, aku benar-benar terkucil.
Menjadi orang buangan yang tidak dihargai makhlukMu. Ya Allah apakah aku harus
berhenti dari jalanMu.
Ya Allah apakah
aku harus keluar dari jalanMu, ataukah aku harus mencari jalan lain yang menuju
kepadaMu. Yang orang-orangnya tidak suka mencemooh, yang orang-orangnya tidak
merasa paling tinggi, yang orang-orangnya tidak merasa paling sholih, apalagi
yang orangnya suka memerintah seenaknya sendiri. Ya Allah jangan kumpulkan aku
dengan orang yang sukanya membicarakan kejelekanku. Jangan dekatkan aku dengan
mereka. Jangan biarkan aku berdekatan dengan manusia-manusia yang telah menafikkan
kebenaranmu. Yang selalu membicarakan kebenaranMu tetapi mereka sendiri yang
mengacuhkannya. Yang begitu senang membicarakan kejelekan saudaranya.
Ya Allah
kumpulkan aku dengan hamba-hambaMu yang sukanya mengingatkan aku dengan
kelembutan bahasa mereka, kesantunan perilaku mereka, dan selalu menjadikan aku
teduh dalam naunganMu. Ya Allah temukan aku kepada mereka. Sungguh sampai saat
ini aku belum menemukannya, yang aku temui hanyalah orang-orang yang sukanya
membicarakan kebenaranMu tetapi tidak melakukan kebenaran itu. Yang sukanya
hanya mengingatkan orang lain tetapi diri mereka selalu lupa dan selalu alpa.
Ya Allah berikan
aku kesabaran, kesabaran yang selalu dapat membimbing dari jalanMu kejalanMu.
Ya Allah aku dulu begitu senang denganMu, tetapi aku sekarang malah menjauhiMu.
Aku dulu adalah orang yang brutal, tetapi santun dihadapanMu. Aku dulu adalah
orang yang naïf, tetapi patuh dengan aturanMu, aku dulu adalah orang-orang yang
keji, tetapi aku sangat menyayangiMu. Ya Allah kata meraka aku berada pada jalanMu,
tetapi sungguh ya Allah aku tidak merasakan berjalan dengan orang-orang yang selalu
mengikutiMu, Kenapa ya Allah? Orang yang aku anggap sangat dewasa. Ternyata hanya
seorang yang menyakitkan hati. Orang yang aku anggap pembela, ternyata hanya bisa
menjadikan keluasan dalam berpikir saja. Sungguh ya Allah, aku ingin kembali kepadaMu.
Ini doaku ya Allah. Panggil aku. Berikan aku kenikmatan seperti dulu lagi.
Kenikmatan yang
salalu mengingatMu. Berjalan pada kewajibanMu. Senang dengan sunnah-sunnah
RasulMu. Tidak terlepas dari kebaikan yang Engkau anggap baik. Ya Allah aku
mohonn pertolonganMu. Sungguh ya Allah tolong aku.
Tolooooooooong
aku ya Allah. Aku sangat miskin. Aku sangat dholim, aku sangat pusing. Berontak
pikiranku ya Allah. Sungguh. Aku sangat benci semua ini.
Tetapi aku mohon
ya Allah, jangan memberikan pikiran kepadaku untuk membenciMu. Aku membenci
semua ini. Tetapi aku mohon lagi ya Allah, berikan aku kesenangan untuk selalu
menyembahmu LAGI. Aku futuuuuuuuuuuuurr. Aku gillllllllllaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
Sangat gilaaaaaaaaaaaaaaaa. Aku ingin menangis ya Allah. Tetapi aku malu.
Sangat malu. Aku malu selalu menangis dihadapanmu. Dengan dosa-dosa yang selalu
aku perbuat. Memang ya Allah aku adalah makhluk yang selalu berbuat salah dan
dosa. Tetapi apakah aku harus selalu berdosa.
Yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Allah. Aku memang orang bodoh, goblok dan brengsek. Entah kata-kata buruk apa
lagi yang harus dituju padaku. Ya Allah aku muak, sungguh ya Allah. Aku muak
dengan semua ini. Tapi ya Allah jangan buat aku muak kepadaMu. Jangan berikan
perasaan kepadaku rasa muak “
Novel Bidadari Untuk Ikhwan jilid 11
“Post-post!”
ucap seseorang diteras depan rumah.
“Iya..!” sahutku
sambil dengan cepat mendatangi Pak post.
“Khalid
Hendriansyah?”
“Iya, saya pak!”
“Tolong
tanda-tangani disini!” ucap Pak post, sembari menunjukkan kertas yang akan aku
tandatangan.
“Terima kasih
Pak!” kataku.
Pak post hanya
tersenyum sambil menganggukkan kepalanya dan berlalu dari hadapanku. Surat yang
sudah lama aku tunggu-tunggu. Yang akan memberikan sebuah keputusan yang akan
menapak masa depanku. Menepak keinginanku dalam menggapai bidadari surga.
Menapaki jalan-jalan surga yang Insya Allah aku lewati dengan bidadari Allah.
Menapaki kehidupanku selanjutnya. Kehidupan dengan seorang bidadari. Bidadari yang
sudah lama aku rindu dan impikan.
Aku duduk dalam
sofa tua yang penuh dengan luka-luka perang. Sehingga harus ditambal, untuk
menutupi luka-lukanya. Sofa butut. Kubuka perlahan-lahan, sebuah surat kiriman
keluargaku yang ada di kampung. Saat aku buka, ternyata ada beberapa lembar surat
yang telah dituliskan, selain ucapan pembuka. Tertulis dipojok kiri atas setiap
suratnya. Bapak, Ibu, dan Nurul. Hem, serpertinya aku harus mendapatkan
banyak masukan dari keluargaku nich. Atau bahkan kritikan pedas dari Bapakku,
hem! Pikirku.
Surat pertama,
dari Bapak.
Untuk Khalid,
Anakku
Le, Bapak kaget
saat menerima surat kamu. Bapak jadi teringat masa-masa kecil kamu dahulu.
Masa, saat kamu masih ingusan. Bapak juga teringat, saat Bapak memarahi kamu
karena mencuri mangganya Bude Narsih. Apalagi Bapak masih ingat, saat kamu
mandi d kali. Bapak menghajar kamu habis-habisan. Bapak sangat khawatir Le,
pada saat itu. Bapak merasa, bahwa kamu belum dapat melindungi diri kamu
sendiri.
Le, Bapak nggak
melarang kamu menikah. Kamu memang sudah besar. Sudah tidak akan mencuri mangga
lagi, apalagi mencuri harta orang lain. Kecuali, mencuri hati seorang gadis
yang akan kamu jadikan Istri! Bapak yakin, kamu sudah dapat menentukan kebenaran
dan kesalahan. Bapak sangat percaya, kepada kamu. Bapak tidak akan mengatur
kamu. Karena Bapak yakin kamu bisa mengatur diri kamu sendiri, dan bisa mengatur
istri kamu. Bapak sangat yakin. Apalagi saat kamu pulang dari kota.
Bapak sangat
merindukan kamu. Merindukan tilawah kamu, merindukan shalat berjamaah di masjid,
rindu saat kamu menjadi imam shalat. Ilmu agamamu sekarang lebih tinggi dari Bapak.
Bapak yakin, kamu bisa mendidik istri kamu. Bapak juga yakin, pilihan calon istrimu.
Meskipun didesa, banyak para pemudanya menikah muda. Dikarenakan sudah melakukan
hubungan diluar batas. Tapi Bapak yakin, kamu bukan seperti pemuda-pemuda itu.
Kamu adalah anak Bapak. Yang sudah Bapak ajari tentang keImanan, tentang
keTauhidan, tentang keEsaan. Bapak percaya kamu, Le. Lanjutkan pernikahan kamu,
masalah kamu lulus kuliah atau belum, nggak masalah bagi Bapak. Apalagi tentang
kamu sudah kerja apa belum, itu pun bukan soal bagi Bapak. Setelah kamu menikah,
dan tidak punya pekerjaan. Kamu bisa pulang, sawah kita masih menunggumu, anak-anak
didesa ini masih butuh seorang ustad. Teruslah Le. Bapak merestuimu.
Hem, Bapak!
Sungguh aku tak akan pernah mengecewakan beliau. Doakan terus Pak! Doakan
Khalid. Agar menjadi seorang pemuda yang Bapak harapkan. Ucapku dalam
hati. Setetes air mata kenangan jatuh diatas surat yang ditulis Bapak. Aku
bahagia berasama Bapak!.
Aku tersenyum
dengan surat yang ditulis oleh Bapakku. Sungguh, aku teringat betul masa lalu
itu. Masa kecilku. Saat-saat aku melakukan sesuatu yang seperti biasa dilakukan
anak-anak pada umumnya didesaku. Tetapi aku benar-benar merasakan benar. Memang
didikan Bapak telah tertanam pada diriku. Tidak akan pernah aku lupakan.
“Dalam sebuah
perjalan, menyusuri pantai utara
berkereta
ditengah malam, Surabaya Jakarta.
Ku teringat masa
indah. Dimasa-masa kecilku
Kenangan bersama
ayah. Dikampung halaman.
Sungguh indah,
terlalu manis untuk dilupakan
Sungguh mesra,
meski beriring ketegangan….
Ayah terima
kasih, ananda haturkan kepadamu
Yang telah mendidik
dan membesarkanku bersama ibu.
Ayah engkaulah
guruku yang terbaik sepanjang usiamu
Yang telah
membimbing masa kecilku
Meniti jalan
Tuhanku
Allah semoga
engkau berkenan membalas segala kebaikannya
Menerimanya dan
meridhoinya d hadiratmu”
Tak terasa
Nasyid Suara Persaudaraan melantun di bibir ini.
Surat kedua,
dari Ibu.
Untuk Khalid
Anakku
Khalid, apa
kabarmu nak dikota? Kamu baik-baik saja kan, nak? Kamu nggak kenapa-napakan?
Ibu kaget, saat Bapak memberitahu Ibu. Kalau kamu ingin menikah. Memangnya kamu
sudah punya calon istri? Ibu dan Bapak sudah sepakat. Kalau merestuimu dalam
menikah nanti. Tapi Ibu masih sangsi. Apakah benar, kamu nggak ngapa-ngapain
anak gadis orangkan? Ibu kaget, ujug-ujug. Kamu langsung ingin nikah.
Meski Bapak
meyakinkan kamu nggak akan melakukan perbuatan yang dilarang agama. Tapi,
sebagai seorang Ibu. Ibu nggak mau, kamu melakukan hal-hal yang diluar agama. Ingat
khalid, kamu masih punya Ibu dan adikmu Nurul. Tapi, Ibu akan berdoa agar kamu baik-baik
saja. Khalid, Ibu sangat menyayangi kamu. Jangan kecewakan Ibu ya nak. Dan jikalau
kamu menikah nanti. Bapak dan Ibu serta keluarga disini hanya bisa memberikan restu
dari sini. Kami tidak dapat berangkat kekota, ingat Nak. Biaya perjalanan
kekota mahal. Kami hanya akan mengirim sedikit uang, untuk biaya pernikahanmu
nanti. Jika kamu benar-benar menikah dikota. Sudah ya Nak, jaga kesehatan.
Jangan terlalu banyak keluar malam. Jangan terlalu kecape’an. Ibu disini
menyayangimu.
Shubhanallah,
sungguh Ibu sangat memperhatikan aku. Ya seperti itulah ibuku. Seorang wanita
yang benar-benar sangat menjaga anak-anaknya. Aku tersenyum dengan surat Ibu. Bersalaman
dengan seorang wanitapun aku belum pernah. Apalagi saat bertaaruf dengan ukhti
Fara. Keringat dingin meluncur dengan derasnya, meskipun keringat itu nggak aku
undang untuk datang. Bagaimana aku mau menyakiti seorang wanita. Tapi
sungguh, aku betul-betul akan selalu teringat pesan ibu.
Surat ketiga,
dari adikku. Nurul
Buat mas Khalid
Yang tercinta
Apa kabar mas?
Hehee… Nurul kaget! Tapi tenang Mas. Nurul kagetnya nggak langsung kebentur
atap kok. Paling-paling cuman melotot aja. Tapi mata Nurul nggak sampai keluar
kok. Bener. Nich buktinya, masih bisa buat nulis. Hehe…! Mas Khalid, emang
sudah ada calonnya? Mas, kan dalam Islam nggak boleh pacaran! Ingat loh mas, pacaran
itu haram. Mas, pacaran itu banyak mudharatnya. Dosanya juga banyak, apalagi
kan itu mendekati zina. Nurul yakin mas Khalid lebih mengetahuinya. Makanya Mas,
cepat selesain kuliahnya. Lalu pulang. Biar disana nggak ketemu sama cewek yang
pake’ pakaian tetapi seperti nggak berpakain. Dikota, kan banyak cewek-cewek berpakain
seksi plus. Taukan maksudnya hehee…! Mas Khalid, kalau nanti pulang. Biar Nurul
kenalkan sama salah seorang ustadzah Nurul. Namanya mbak Nadia. Orangnya cantik
banget loh mas. Apalagi Nurul seneng dengan jilbabnya. Ituloh mas, jilbab yang gedhe!
Yang biasanya disebut jilbabers. Nurul sering ngobrol sama mbak Nadia. Mbak Nadia
itu seumuran mas Khalid. Baru lulus dari kuliahan. Mbak Nadia itu, keponakannya
pak Suroso. Ituloh mas, yang punya peternakan sapi perah. Katanya sich, mbak
Nadia itu tinggal disini disuruh sama pak Suroso. Untuk ngajar ngaji anak-anak desa
sini. Mas pulang aja, nanti tak kenalin sama mbak Nadia. Orangnya cantik loh
mas, bener. Nurul nggak bo’ong. Kalau ada mas Khalid, pasti mbak Nadia nggak
akan di goda sama remaja-remaja desa sini. Biasalah mas, anak-anak desa pada
nggak tahan pengen berkicau kalau nemuin yang bening-bening kayak mbak Nadia
and yang pasti Nurul juga hehe…! Udah Mas nggak usah nikah sama gadis kota.
Nikah aja sama mbak Nadia Hehe..! Tapi kalau mas Khalid dikota nemuin gadis
yang kayak mbak Nadia sich, Nurul nggak papa! Tapi kalau mas Khalid dikota
nemuin cewek-cewek yang pakaiannya ketat-ketat and lalu dijadiin istri mas
Khalid. Huh… tujuh turunan Nurul nggak akan nerima tuh cewek. Wes, udah duluh
ya mas Khalid. Nurul belum mandi nich, biasalah mau berangkat sekolah. Udah
Wassalam.
Nurul, adikku
satu-satunya. Alhamdulillah, sekarang sudah ada akhwat yang membimbing dia.
Hem, sekarang Nurul bisa juga menceramahin aku. Alhamdulillah semua sudah
berubah. Nadia, seorang akhwat yang mau mengajar didesaku. Aku jadi teringat
dengan salah satu teman akhwat. Namanya hampir sama, Nandia. Dia termasuk
salah satu
temannya ukhti Farah. Nandia memang baru lulus kemarin. Dan rencananya ingin
sekali mengajar anak-anak dipedesaan. Apakah mungkin Nadia adalah Nandia.
Hem..! entahlah
yang penting di desaku ada seorang akhwat yang sudah siap berdakwah disana. Pikirku.
Kalaulah Nurul melihat ukhti Farah. Pasti dia akan menyatakan setuju, meski
nggak aku menanyakan hal itu padanya. Surat sudah selesai aku baca. Semua pada
dasarnya menyetujui rencanaku meskipun ada riak-riak sedikit ketidakpercayaan
keluargaku. Tapi aku yakin, jika mereka melihat ukhti Farah. Keluargaku akan
setuju. Bahkan akan sangat bersyukur. Aku letakkan surat di meja kayuku. Tak
terasa adzan ashar telah mengumandang.
“Gimana, akh Khalid?” tanya ustad Fadlan.
“Ana, sudah
memikirkannya Ustad!”
“Lalu, kapan
antum siap mengkhitbah?”
“Tafadhol, semua
terserah antum. Keluarga ana sudah merestui rencana ana!”
“Baik, kalau
begitu secepatnya! Besok, kita datang kerumah Zahra. Ana sebagai saksi antum!
Gimana siap?”
“Tapi ustad! Ana
belum ada persiapan apapun!” ucapku galau.
“Persiapan apa?
Antum mau bersiap apa lagi?” tanya ustad Fadlan bingung.
“Ana harus
mengumpulkan uang dulu, untuk biaya pernikahan! Dan beberapa hal yang memang
perlu ana persiapkan.” Ucapku bingung.
“Antum, sudah
nggak usah memikirkan itu semua! Yang penting ruhiyah antum sudah siap. Maka
kesiapan yang lain-lain, akan menjadi tanggungan yang sudah siap.” Ucap ustad
Fadlan dengan senyum. Aku hanya bisa mengangguk. Pasrah.
Senja sore ini,
memerah. Awan bergumpal lebat. Bagaikan sekelompok bantal-bantalputih. Bersih,
mengagumkan hati. Mengagumkan karena Allah menciptakannya untuk memang
benar-benar dinikmati. Hingga di resapi makna yang terdalam pada semua ciptaanNya.
Pada semua hal yang telah diciptakanNya. Sungguh benar-benar mengangumkan.
Keelokan yang tak akan pernah dapat diciptakan insan manapun.
Nikmat benar
memandang keindahan sore hari. Tetapi, tidak dapat dipungkiri lagi. Bahwa
jantung ini masih tetap berdegup kencang. Berdegup kencang bagaikan sebuah
letupan kereta batu bara yang melaju perlahan-lahan. Melaju pada saat berjalan
di medan perang. Perang yang tak teralakan antara kegalauan dengan keyakinan.
Perang melawan segala kesenangan dengan kebingungan. Apalagi ketakkaburan,
seorang hamba yang akan menyunting wanita yang sangat mulia dari pandanganku.
Wanita yang benar-benar berada dalam mimpi indahku. Wanita yang akan selalu
menyertaiku dalam segala bentuk kegiatanku, dakwahku. Apalagi mengiringi aku
memasuki Jannah Ilahi hingga dia menjadi seorang bidadari. Sungguh, ini
menjadi kenyataan. Manakalah sebuah kenyataan itu telah menggapaiku. Tetapi
benar-benar aku gugup sekali untuk meraih kenyataan-kenyataan itu.
Hingga saat ini.
Aku masih merenungi semuanya. Merenung dalam kegalauan seorang ikhwan.
Kegalauan seorang laki-laki yang akan mendapatkan keberuntungan yang besar.
Keberuntungan yang akan mengantarkan menuju keberuntungan-keberuntungan yang
lainnya. Amien.
”Akh, antum
ngelamun apaan?” tanya Deni. Sambil menepuk pundakku. “Eh, antum Akh!” ucapku
kaget. “antum sudah kembali ya? Hem, sudah diajarin mengucap salam. Kok nggak
mengucap salam!” lanjutku.
“Ye… antum itu
gimana sich Akh! Ana dari tadi mengucap salam, tapi antum diam aja nggak jawab
salam ana!” ucap Deni kesal.
“Ha….! Sudah
yah? Oh, Walaikumsalam!”
“Nah, gitu dong!
Jawab kalau ada orang salam”
“Afwan, tadi
nggak dengar!” ucapku sambil senyum. “Eh iya, ngomong-ngomong antum kok cepat
banget? Emang istri antum dimana? Ditinggal didesa yach!” godaku.
“Hem, Akh. Yang
menikah itu kakak ana! Bukan ana.” Ucap Deni. Setelah sambil cengengesan. “Yang
seharusnya itu, ana yang nanya! Antum dah siap-siap menikah
nggak?”
lanjutnya.
“Sudah dong! Ana
dah siap menikah.”
“Bener, Akh?”
“Iya benar, ana
dah siap menikah. Bahkan sejak jadi janin, ana sudah disiapkan oleh Allah untuk
menikah!” gurauku.
“Yee, kalau itu
sich ana juga dari dulu! Ana mau masuk dulu, Akh! Dari tadi ana belum tidur
sama sekali. Ngantuk nich!” ucap Deni sambil akan beranjak menuju kamarnya. “Iya
tafadhol! Kalau nggak ngantukan, bukan Akhi Deni namanya” gurauku.
“Seepp!” sahut
Deni. Sambil berlalu dariku.
Aku melanjutkan
merenungi kegalauan hati ini. Kegalauan, yang entah aku sendiri tidak mengerti.
Kenapa aku harus bimbang. Kenapa aku harus galau, entahlah. Besok, adalah waktu
yang terpenting dari hal yang terpenting pada berbagai kehidupanku selama ini.
Aku seorang anak orang desa. Yang tidak mempunyai kekayaan yang seberapa.
Kecuali hanya sepetak beberapa sawah. Kini akan menikahi seorang gadis. Anak
konglomerat muslim. Seorang gadis yang sangat mulia dimata orang yang memandangnya.
Seorang wanita yang begitu mempesona jika orang memandangnya.
Bukan hanya
wajahnya yang terlihat cantik. Tetapi akhlaq dan akhidahnya juga terpancar dari
rona-rona wajahnya. Tidak akan pernah ada orang akan menolaknya, jika diberikan
seorang bidadari seperti dia. Tetapi aku, aku seorang yang rendah. Seorang
laki-laki yang tidak mempunyai apa-apa untuk dibanggakan. Apalagi untuk
diberikan. Sungguh sangat menggelikan. Bahkan membingungkan memang.
Besok. Hari yang
akan mengubah seluruh hidupku. Mengubah segala sesuatu yang ada padaku. Besok.
Mengubah kehidupanku menjadi semakin berwarna. Semakin menunjukkan kebesaran
Allah kepada hambanya. Kini aku harus lebih memperdalam akhidahku. Memperdalam
ruhiyah, juga tak kalah pentingnya. Apalagi aku juga harus memperdalam membaca
buku-buku tentang pernikahan. Pokoknya semuanya harus diperdalam. Biar nanti
saat aku sudah beristrikan bidadari. Tidak malu-maluin.
Senja yang
merona itu, kini semakin lama semakin menghilang. Keindahan senja itu menjadi
berangsur-angsur berganti kehitaman. Hitamnya malam yang pekat dengan kehidupan
lain. Kehidupan para makhluk hidup malam. Kehidupan para pemiliki malam.
Kehidupan yang
akan membangunkan mereka untuk keluar dalam balutan bingkaian malam. Kini
keindahan senja telah hilang. Berganti keindahan malam yang bertaburkan bintang.
Bertaburkan lampu-lampu yang mempesona. Bertaburkan keceriaan para makhluk
malam. Apalagi bertaburkan para pedagang asongan. Makhluk pemilik malam.
***
Sholat
Isya’ sudah aku laksanakan. Tilawah sudah aku lakukan. Sebuah kewajiban yang
selalu memberikan kenikmatan kepadaku. Semua sudah aku lakukan. Termasuk
membaca al ma’tsurat. Dzikir pagi petang. Kini saatnya aku menambah khasanah
keilmuanku. Ilmu yang akan membibingku dalam semua kehidupanku. Dalam berbagai
hal yang akan membimbingku pada sebuah jalan yang haq. Yang akan menjadikanku
seorang yang benar-benar dapat melukan segala sesuatunya dengan berlandaskan
kebenaran. Tetapi bukan prasangka kebenaran.
Buku Kado
pernikahan untuk istriku karangan Mohammad Fauzil Adhim. Terpampang jelas
dihapanku. Hem, semua sangat cepat. Bagaikan angin topan yang meniupkan
kekuatannya. Dulu aku sering mengejek seniorku saat mereka membaca karangan
sang maestro pernikahan. Mohammad Fauzil Adhim. Tetapi kini, aku tidak memungkiri
kehebatan seorang Mohammad Fauzil Adhim. Dalam memberikan solusisolusi sebuah
pernikahan. Memang benar-benar membuatku lebih tahu segalanya.
Malam terus
begerak. Dalam bingkaian dingin yang menyeruak. Sungguh tiada bosan aku membaca
buku karangan Mohammad Fauzil Adhim. Tetapi aku tetap harus menjaga tubuhku.
Aku tidak boleh beralarut-larut untuk saat ini. Karena besok adalah hari
penting yang akan mengubah hidupku. Mengubah seluruh dimensi kelajanganku.
Malam bertaburan
bintang.
Malam, aku
datang esok
Kan meraih
bintangmu
Ku jadikan
sebagai bintang yang tertinggi
Tinggi lebih
dari penempatanmu. Malam.
Karena aku akan
meninggikan bintangmu
Atas nama Ilahi
Untukmu
bintangku.
Farah Zahrani.
Novel Bidadari Untuk Ikhwan jilid 12
Pagi, hembusan
anginmu terasa. Desah embunmu, membuatku merasakan kedinginanmu. Entahlah, pagi
ini aku benar-benar merasakan hal-hal yang tidak biasanya. Aku benar-benar
gugup pagi ini. Sejenak aku membaca ayat-ayat suci yang selalu menenangkan
jiwaku. Menentramkan kegundahan hati ini. Benar-benar obat yang sangat ampuh
untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Al Qur’an.
Sesaat wekker
bututku berbunyi. Pukul 7 pagi. Ini saatnya aku berangkat. Degup jantungku
mengiringi setiap langkah kakiku. Saat-saat yang sangat berharga buatku.
Langkahku tegap
mantap, diiring dengan jantung yang berdegup kencang. Diiringi dengan rasa hati
yang benar-benar tak karuan. Sungguh aku benar-benar gugup. Untuk saat ini
kebiasaanku tidak boleh aku lakukan. Berjalan kaki. Tidak enak rasanya jika
tercium aroma yang menyegarkan suasana. Yang membuat suasana jadi segar.
Dirasakan oleh mertua dan calon istriku. Tapi aku yakin. Jika seseorang mencium
bau badanku pasti mereka tidak akan pernah tertidur lagi. Sungguh benar-benar
obat penghilang ngantuk yang efisien.
Tetap sama.
Perjalanan dengan angkot sama seperti aku berjalan dengan kaki. Apalagi seperti
bersafari di mobil yang pengap dan panas. Tetapi semilir angir dari kaca jendela
angkot membuatku merasakan kenikmatan udara yang diberikan Allah. Sebuah kebenaran
yang nyata. Manakalah kita merasakan kesusahan, lalu Allah mengentas kita dari
kesusahan itu. Sehinga merasakan kenikmatan yang benar-benar diberikan oleh Allah
untuk kita. Kenikmatan yang tidak akan pernah terpungkiri oleh akal dan jiwa
ini. Angkot terus melaju, melaju dengan kecepatan layaknya kura-kura yang
sedang berjalan.
Tetapi aku
menikmatinya. Aku nggak boleh kelewatan lagi. Kalau kayak yang kemarin bisa-bisa
jalan lagi. “Jl. Teungku Umar Pak!” teriakku.
Angkot berhenti.
Tepat didepan jalan masuk rumah ustad Fadlan. Aku turun sambil membayar ongkos
angkot. Kini tinggal beberapa meter saja, aku sudah berada di rumah ustad
Fadlan. Dengan langkah pasti dan galau di hati. Aku berjalan menuju rumah ustad
Fadlan. Kini aku sudah berada didepan rumah ustad Fadlan. Bingung juga saat
akan mengetuk pintu. Tapi aku harus berani. Berani untuk menerima bidadari yang
telah diberikan kepadaku.
“Assalamualaikum”
salamku
“Walaikumsalam”
Jawab ustad Fadlan didalam rumanya. Ustad Fadlan tersenyum, sambil
mempersilahkan masuk.
“Gimana ustad?
Jadi?” tanyaku bingung.
“Loh, ya jadi
kan! Istri ana sekarang sudah berada dirumah Zahra. Dan mereka menunggu kita
disana! Kita berangkat sekarang, Akh!” ajak ustad Fadlan. Bersemangat. Aku
hanya menganggukan kepala. Kami berangkat bersama, menaiki motor milik ustad Fadlan.
Ustad Fadlan
berhenti didepan sebuah rumah yang sangat besar. Rumah-rumah yang berada di
perumahan elit dan eksklusif. Jantungku berdetak semakin kencang.
“Akh, kita turun
disini!” ucap ustad Fadlan. Mengagetkanku.
Aku mengangguk
sambil senyum yang aku paksakan.
Kami berdua
memasuki gerbang pelataran rumah. Entahlah, ini sebuah rumah atau istana. Aku
belum pernah masuk kedalam rumah seperti ini. Kecuali hanya bisa melihat
gerbangnya saja didepan. Masya Allah, sangat besar sekali rumah ini. Pelataran
yang luas. Ditumbuh-tumbuhi tanaman-tanaman yang berkelas. Ya Allah, aku kecil disini.
Aku sangat rendah ya Allah. Aku benar-benar merasa rendah ya Allah.
“Khalid!” ucap
ustad Fadlan.
“Iya, Ustad!”
“Antum, jangan
mempunyai sifat minder disini. Kita semua manusia. Dihadapan Allah kita semua
sama. Tiada yang dapat diunggul-unggulkan selain keimanan kita. Khalid, antum
jangan pernah menjadikan diri antum terkucil dari keduniawiaan ini. Kuatkan
hati, bahwa antum pun bisa mendapatkan semua ini. Dan tentunya, untuk kemajuan
dakwah ini.” Seru ustad Fadlan.
Ucapan ustad
Fadlan benar-benar menusuk hati. Membangkitkan semangat kembali. Semangat yang
tadi hampir-hampir rapuh ditelan keraguan atas kemiskinanku. Tibalah kami
memasuki bagian dalam rumah besar ini. Aku benar-benar menguatkan diri. Mencoba
kembali kepada tujuan awalku. Menikah untuk kemajuan dakwah dan keimananku
nanti. Bukan yang lainnya. Kami berjalan pada sebuah ruangan yang sangat
besar, dihiasi dengan berbagai lukisan ayat-ayat suci dan kaligrafi-kaligrafi indah.
Dulu aku hanya melihatnya di desktop computer. Tetapi sekarang aku
melihat dengan jelas. Lukisan-lukisan kaligrafi indah itu.
“Assalamualaikum,
wahai saudaraku!” ucap ustad Fadlan. Kepada seorang berjenggot, berperawakan
besar.
Orang itu tersenyum.
“Walaikumsalam, wahai saudaraku Fadlan.” sambil memeluk erat ustad Fadlan. Dan
langsung menyalamiku. “apakah dia?” ucapnya.
Ustad Fadlan
hanya tersenyum sambil mengangguk.
Langsung saja
Bapak itu memelukku. Erat sekali. Bagaikan seorang Bapak yang memeluk anaknya.
Sungguh aku menemukan kegembiraan yang mendalam dalam hati.
“Khalid, ini
adalah Ustad Hanafi! Calon ayah antum.” Ustad Fadlan memperkenalkanku
dengan Bapak
itu.
Ustad Hanafi
hanya tersenyum. Subhanallah, sungguh aku benar-benar beruntung. Aku mendapatkan
seorang Bapak yang begitu sangat berkharisma. Wajahnya begitu cerah, tatapan
matanya tajam tapi begitu mempesona, di keningnya terlihat sekali.
Kehitamhitaman, bekas sujud yang membekas. Sungguh aku sangat beruntung sekali.
Allahu
Akbar.
“Assalamalaikum,
Ustad!” ucapku.
“Walaikumsalam,
anakku!” jawab Ustad Hanafi. “Antum tidak usah formal-formal begitu anakku.
Biasa aja!” lanjut ustad Hanafi.
“Bagaimana,
saudaraku?” tanya Ustad Fadlan. yang aku tidak mengerti maksudnya.
“Bagaimana
apanya, saudaraku? Ana rasa semua sudah jelas! Ana saat melihat Khalid, untuk
yang pertama kali ini. Sudah langsung merestuinya! Jadi langsung saja, menikah sekarang!”
kata Ustad Hanafi. Dengan senyuman yang begitu berkharisma.
Aku benar-benar
kaget. Rencananya hanya mengkhitbah. Tapi aku langsung menikah sekarang. Apa
benar?. Ustad Fadlan hanya tersenyum. Entah bagaimana raut mukaku
saat ini. Aku
kaget sekali dengan rencananya yang serba mendadak. Serba cepat.
“Ana menyerahkan
semua kepada antum, saudaraku!” Jawab Ustad Fadlan.
“Baik kalau
begitu! Sekarang kita langsung menikahkan mereka berdua. Pendapat antum bagaimana
Khalid?” tanya ustad Hanafi.
“Apa semua sudah
dipersiapkan ustad?” tanyaku bingung.
Ustad Hanafi
tersenyum. “Anakku, semua sudah dipersiapkan! Antum tidak usah repot-repot
mempersiapkan
apapun! Bagaimana antum siap, menikah sekarang? Untuk masalah walimatul bisa
bulan besok!”
Aku hanya
menunduk dan tersenyum. Senyum yang aku paksakan. Senyum yang kebingungan.
Tidak seperti pernikahan yang biasa dilakukan didesaku. Sungguh baru kali ini
aku mengetahui kemudahan pernikahan. Yang sangat mudah.
“Zahra, Anakku.”
Panggil ustad Hanafi.
“Iya, Abi!”
jawabnya
Subhanallah
suaranya masih sangat merdu. Sungguh menggetarkan jantung ini. Mana mungkin aku
tidak menerima seorang bidadari yang satu ini.
“Bagaimana?
Sudah siap!” tanya ustad Hanafi.
“Sudah, Abi! Ana
sudah siap.” Jawabnya.
“Assalamualaikum!
Maaf saya terlambat!” ucap seseorang yang berseragam.
“Walaikumsalam!
Anda datang pada waktu yang tepat.” Ucap Ustad Hanafi. “Khalid, ini adalah
petugas dari KUA. Yang akan mengurus pernikahan kalian sekarang juga termasuk
sekaligus dari penghulu kalian!” jelas ustad Hanafi.
“Baik. Kalau
semua sudah siap!” ucap penghulu itu. “saya harap untuk pengantin wanita dan
prianya duduk didepan saya. Untuk saksi dari laki-laki, silakan duduk disebelah
kiri saya. Dan untuk wali dari perempuan, silakan duduk disebelah kanan saya.”
Masya Allah.
Jantungku berdetak kencang. Tidak pernah aku duduk bersebelahan persis seperti
ini, dengan seorang akhwat. Apalagi dengan seorang akhwat yang aku kagumi. Semua
ini terasa mimpi. Mimpi yang benar-benar terjadi. Farah Zahrani akan menjadi pendamping
hidupku.
“Baik, tirukan
kata-kata saya!” ucap penghulu itu. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah,
menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat
sholat dan buku skripsi.”
Sambil
bersalaman dengan ustad Hanafi. Aku melafalkan ucapan sakral itu. “Dengan ini, saya
Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal….” Entah kenapa mulutku
kaku. Aku gugup.
“Baik kita
ulangi sekali lagi.” Ucap Penghulu itu. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah,
menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat
sholat dan buku skripsi.”
“Dengan ini,
saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbahl dengan mas
kawin….” Aku benar-benar gugup. Aku tidak dapat melafalkannya dengan lancar.
Suasana menjadi
agak hening. Serasa aku benar-benar menjadi orang yang tidak dapat melakukan
sesuatu yang mudah. Sungguh aku sangat gugup sekali.
“Hem…!
Alhamdulillah” sela ustad Fadlan. Mengagetkan. “Alhamdulillah, dengan begini
kita tahu. Bahwa Khalid memang belum pernah menikah!”
Semua yang ada
diruangan ini tertawa. Aku malu sekali.
“Khalid,
tenanglah. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu!” ucap Ustad Hanafi. Dengan
kekharismatikannya.
“Bagaimana? Mau
diulang?” ucap penghulu itu.
Aku hanya
mengangguk. “Bismillah” ucapku lirih.
“Baik, kita
ulang.” Ucap Penghulu itu lagi. “Dengan ini, saya Khalid Hendriansyah, menikahi
Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku
skripsi.”
“Dengan ini,
saya Khalid Hendriansyah, menikahi Farah Zahrani binti Hanafi Iqbal dengan mas
kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.” Ucapku lancar.
Alhamdulillah.
Selanjutnya
Penghulu itu mempersilahkan ustad Hanafi untuk mengikuti kata-katanya.
“Untuk wali
pengantin wanita, tolong tirukan saya. Saya terima nikahnya anak saya yang bernama
Farah Zahrani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan buku skripsi.”
Seketika itu
pandangan ustad Hanafi kepadaku terlihat sangat serius. Ustad Hanafi memegang
tanganku erat. Seraya mengatakan Aku serahkan anakku, untuk berjuang bersamamu.
Jagalah ia, jangan kau sakiti dia.
“Saya resmikan
pernikahan pasangan pengantin ini.”
Ya Allah, ucapan
penghulu benar-benar membuatku melambung. Aku kini sudah mempunyai seorang
istri. Seorang yang akan menemaniku sepanjang waktu. Setiap saat akan ada yang
membelaiku. Menjadikan aku raja. Dan aku akan menjadikan dia ratu. Ya Allah
sungguh kenikmatan yang begitu indah.
Tetes air mata
mengalir lirih dalam pelupukku. Keindahan ini harus aku lewati tanpa disaksikan
oleh kedua orang tuaku. Kebahagianku, adalah kebahagiaan kedua Bapak dan Ibuku.
Kini aku berbahagia, tanpa disaksikan oleh kebahagianku. Bapak dan Ibu.
“Anakku,
sekarang engkau resmi menjadi suami dari anakku. Apakah yang engkau risaukan
sekarang!” tanya ustad Hanafi kepadaku.
“Ustad, sungguh
ana sangat berbahagia sekali menikahi seorang bidadari. Tidak pernah terlintas
sedikitpun rasa kecewa. Tetapi Ustad, sayangnya kebahagiaan ana tidak dapat dirasakan
oleh kedua orang tua ana yang berada didesa.”
“Anakku,
janganlah kamu memanggilku dengan sebutan Ustad! Aku lebih senang jika engkau
memanggil Abi! Anakku, kebahagian anak adalah kebahagian orang tua. Abi yakin,
orang tua antum disana sangat berbahagia. Meskipun tidak menyaksikan kebahagiaanmu,
tapi Abi yakin. Mereka sekarang juga merasakan kebahagiaan itu.” Jelas ustad
Hanafi.
Ya memang benar
apa yang dikatakan ustad Hanafi.
“Akhi!” panggil Farah istriku dengan lembut.
Entah bulukkudukku
merinding. Bagaikan bertemu dengan hantu. Tetapi hantu yang sangat cantik.
“Iya Istriku!” jawabku.
“Apa boleh, ana
memanggil antum Kanda!” ucap Fara Istriku, dengan terlihat malu-malu.
“Tafadhol! Anti
mau panggil ana apa aja. Ana senang kok. Selama yang memanggil adalah anti!”
rayuku.
Farah terlihat
sangat malu. Pipinya memerah, dari warna putih kulitnya. Sungguh mempesona.
Entah apa yang harus aku lakukan. Kami hanya duduk berdua. Disebuah kamar besar
berinterior mewah.
“Dinda! Apakah
anti senang menikah dengan ana?” entahlah aku merasa sangat bodoh didekatnya. Sebuah
pertanyaan yang tidak layak untuk dijawab pikirku sendiri.
Farah hanya
tersenyum. Lalu memegang tanganku. Diciumlah tangan kananku, lalu disentuhkan
dipipinya dan dibelai-belaikan sendiri. Sungguh jawaban yang efektif. Tidak menggunakan
suara. Tetapi langsung pada tindakan.
“Dinda. Ana mau
tanya!” kataku. Membuka pembicaraan yang monoton.
“Apa itu,
Kanda?”
“Dinda. Ana
bingung dengan pernikahan kita? Sangat cepat. Ana kaget!” ucapku bingung.
Farah tersenyum.
“Kanda, mungkin antum ingat bahwa menyegerakan pernikahan itu adalah hal yang
terbaik. Tetapi memang bukan terburu-buru. Apakah antum ingat. Bahwa dalam
hadist. Rasulullah bersabda. “Jika datang kepada kalian orang yang kalian
ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak
melakukannya, maka akan menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” Ana
dan Ustad Fadlan, meyakinkan Abi. Bahwa antum adalah seorang yang benar-benar
dapat dipercaya. Dan sesungguhnya ana sudah lama mencintai antum. Tapi ana
ingin menutupi semuanya. Ana malu terhadap Allah. Karena ana mencintai ikhwan
yang seharusnya tidak berada di hati ana. Tetapi kini kanda sudah menjadi suami
ana” jelas Farah sambil menyandarkan kepalanya didadaku.
Jantungku, tetap
berdetak tidak beraturan. Keringat dingin terus mengalir, meskipun didalam
kamar ini air conditioner kurasakan sangat dingin.
“Dinda ana juga
sangat mencintai antum. Alhamdulillah, Allah benar-benar mengabulkan doa ana
untuk memiliki salah satu bidadari-Nya.” Kataku dengan membelai kepala istriku yang
masih terbalut jilbabnya.
“Kanda, ana
sangat mencintai antum” ucap Farah dengan manja.
“Ana juga
mencinta anti, sayang!”
Entah rasa berani
dari mana yang aku dapatkan. Seketika itu, aku langsung memeluk tubuh Istriku.
Farah. Dan seketika itu, Istriku mematikan lampu kamar.
Aku terbangun
dari tidurku. Saat aku merasakan belaian lembut diwajahku.
“Kanda. Bangun!”
ucapnya lembut dan lirih.
Aku membuka mata
dengan senyuman. Seketika itu, aku merasakan ciuman hangat dikeningku. Aku
masih tersenyum. Dan menikmati kemesraan belaian istriku.
“Kanda, sayang.
Bangun. Sudah Shubuh! Kanda mandi dulu ya!” Ucapnya lembut. Ucapannya begitu
mesra. Aku tidak tahan untuk berlama-lama dalam buaian mimpi yang tidak pasti.
Aku harus bangun. Aku harus merasakan seluruh kemesraan yang diberikan istriku
kepadaku. Aku benar-benar menikmatinya.
“Mandi, ya
sayang! Kalau mandi berdua, gimana?” godaku.
“Ih, sudah berani
nakal ya sekarang!” ucap istriku. Sambil mencubit hidungku. Lalu menarikku dari
kasur.
Sholat shubuh
aku jalani dimasjid kompleks perumahan elit itu. Dengan berjalan kaki berempat,
bersama keluarga baruku. Abi, Umi, Istriku. Ada kesan yang mendalam saat kami
berjalan bersama. Meskipun dinginnya pagi menusuk kulit. Tetapi aku merasakan
kehangatan yang luar biasa berjalan dengan keluarga ini. Sangat menentramkan
hati. Masjid kompleks perumahan elit itu, begitu asri. Interiornya memang terlihat
sangat bagus. Mengesankan sekali. Hanya sayang. Jamaah sholat shubuhnya bisa dihitung
dengan jari. Seperti biasa. Ada sebuah ungkapan yang terpatri dibenakku.
Ketakutan-ketakutan
besar orang-orang Yahudi adalah. Manakalah mereka melihat penuhnya jamaah pada
setiap masjid. Pada waktu sholat shubuh.
Selesai sholat
shubuh kami berjalan-jalan di taman kompleks. Sangat menyenangkan. Karena aku
bisa berjalan mesra dengan istriku. Tak lupa disertai cubitan Fajar cubitan
mesra diantara kami berdua. Mungkin itu yang membuat iri beberapa burung pipit
yang melihat kami berdua. Beriak dan berarak kicau meraka. Sangat menambah kemesran
kami berdua. Sepertinya burung-burung itu, mengelu-elukan kami berdua.Tetapi
aku tetap harus bisa menjaga image dihadapan mertuaku. Sebenarnya sich, biar
nggak malu. Belum pernah aku sebahagia ini.
“Dinda. Kanda
balik dulu kekontrakan yach! Ana mau mengambil beberapa barang-barang ana yang
ada disana!” kataku mesra.
“Dinda, Ikut!”
ucapnya manja.
“Dinda, sayang. Jangan
dulu! Setelah walimatul. Baru anti bisa ana ajak kemana-mana. Biar nggak
terjadi fitnah maksud ana!”
“Tapi, Dinda
pengen disamping Kanda terus!” rayunya manja. Sambil memegang lengan kananku.
“Sayang. Kanda
nggak lama kok! Nanti juga balik lagi.” Kataku sembari membelai mesra pipinya
yang lembut.
“Iya udah, tapi
Kanda. Ana yang ngantar Kanda ya! Ana nggak mau, Kanda berjalan kaki!”
“Hem… sayang.
Berjalan kaki itu kan kebiasaan Kanda! Ana nggak, ujug-ujug setelah menikah
dengan anti langsung lupa dengan kebiasaan” Ucapku dengan senyum.
“Tapi, Kanda.
Ana nggak mau, melihat Kanda capek!” ucapnya manja.
“Insya Allah,
Kanda nggak akan capek-capek banget kok! Paling-paling kalau capek, kan ada
Dinda yang mijitin!”
Farah tersenyum
simpul sambil memelukku. “Ya, udah! Kanda kan nggak punya HP.
Ana beliin nih
buat Kanda!” sembari menunjukkan Siemens yang terbaru. “Kanda nggak boleh
menolak. Karena ini adalah pemberian istri, Kanda!”
Aku tersenyum.
Memang tidak ada gunanya juga menolak. Karena toh, semua milik istriku adalah
milikku juga. Semua milikku adalah milik istriku juga. Setelah itu aku langsung
berangkat ke kontrakanku.
“Assalamualaikum!” ucapku saat melihat Deni
dan Samsul akan berangkat kuliah.
“Walaikumsalam!”
jawab mereka hampir bersamaan.
“Akh, antum itu
kemana aja sich! Seharian kok nggak pulang-pulang.” Sergah Samsul yang
kelihatan agak bingung.
“Iya nich. Antum
itu kemana aja? Tuh tadi malam, ada akhwat yang telphone-telphone jam 12 malam
sampai jam 3 pagi. Nyariin antum terus! Antum ada apa akh? Akhwat itu terdengar
sangat bingung sekali!” sahut Deni.
“Iya nich afwan.
Ana ada acara yang sangat mendadak. Jadi nggak sempat memberitahu kalian! Emang
siapa akhwat itu?” tanyaku penasaran.
“Hem… ada apa
nich? Khitbah yach? Wah kok nggak ngajak-ngajak!” sahut Samsul.
“Hem… antum itu,
mau tahu aja!” jawabku sekenanya. Padahal benar.
“Ana nggak tahu
siapa nama akhwat itu. Dia nggak bilang! Hanya saja diterdengar sangat bingung
sekali.” Kata Deni serius.
“Hem… ya semoga
saja nggak ada apa-apa!” jawabku.
Serempak
keduanya mengucapkan “Amien!”
Tluutt…tlluutt...
HPku
berbunyi.
Tak ayal Deni
dan Samsul berteriak kegirangan. “Wah… sudah punya HP nich! Siemens yang
terbaru lagi. Waduh seru nich! Dapat dari mana akh! Boleh pinjam dong!”.
Aku hanya
nyengir sambil mengatakan “Udah-udah sana… kuliah menunggu!”
Aku melihat
Hpku. Ternyata SMS. Tertanda Dinda sayang. Tertulis Kanda, ana
kangen.
Kanda kangen
nggak sama Dinda?.
Heheh… baru
ditinggal 1 jam aja sudah kelimpungan gitu. Padahal aku aja, juga sangat kangen
sekali hhee…
Lanjutkan Membaca Novel bidadari Untuk ikhwan Jilid 13