Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 6
Sebuah
kenikmatan yang teramat dalam. Saat sebuah kebutuhan telah aku laksanakan.
Layaknya kenyang, saat orang-orang menelan makanan-makanannya. Bahkan layaknya
tidak akan pernah kenyang. Bagaikan seorang yang memakan-makanan yang lezat.
Tetapi kenikmatanku bukan karena kekenyangan makanan, atau bahkan tidak menikmati
kekenyangan lezatnya makanan-makanan dunia. Tidak, bukan itu semua. Yang aku
nikmati adalah sebuah rasa kenyang dalam ruh, jiwa ini. Yang membuatkan tidak
kenyang adalah lezatnya dalam menyembah, bersimpuh. Pada sang Maha pencipta kelezatan.
Sungguh nikmat.
Aku masih duduk
bersila. Menikmati dzikir-dzikirku yang terasa bagai sebuah candu. Benar-benar
sebuah candu. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Karl Marx. Kalaulah Karl
Marx, menyatakan agama adalah candu. Maka sesungguhnya Karl Marx lupa, atau
mungkin bahkan Karl Marx tidak tahu. Candu yang diberikan dalam kenikmatan
beragama, merupakan esensi dari kehidupan. Candu yang tidak memabukkan. Candu
yang membuat orang akan terus ingat, tentang perbuatan keburukannya. Candu yang
membuat orang akan terus melakukan perbaikan dalam dirinya. Candu yang membuat
manusia-manusia terlena akan buaian kasih sayang-Nya.
Buaian yang akan
membuat manusia ingat, akan ada hari pembalasan bagi perbuatanannya. Yang
membuat manusia, menjadi lebih sempurna. Karena rasa keimananannya terhadap
Tuhannya. Bukan seperti Karl Marx. Yang tidak bertuhan. Senja memerah, matahari
sudah semakin condong kebarat. Menandakan pergantian masa dan waktu. Saat lama
aku berdzikir. Entah apa yang terjadi dalam diriku.
Sebuah hal yang
mengingatkanku terhadap janjiku. Janji untuk kembali melihat si dekil yang
berada dipersimpangan lampu merah. Aku melupakannya. Aku lupa akan mengajak dia
untuk ikut dalam kajian teman-teman seprofesinya. Aku harus kembali, dan
mengajak dia. Sebelum dia dihancurkan akhidahnya, oleh para missionaris.
Bergegas dengan
cepat, aku langsung bangkit dari dzikir pribadiku. Aku harus dapat membuat
dzikir umum. Yang bisa membuat kemashalatan bagi seluruh alam. Dapat mengentaskan
kekeringan ruhiyah pada setiap mahluk di bumi Allah ini. Langkahku tegap,
cepat. Menuju lokasi si dekil itu.
Lalu-lalang
mobil dan motor seakan tidak akan pernah henti. Di perempatan lampu merah, aku
mencari sesosok tubuh dekil. Tubuh, yang dihiasi oleh kotoran-kotoran dunia.
Tetapi, tetap berselimutkan kesucian. Kesucian anak yang tak tahu akan dosa. Yang
mereka tahu, hanya ingin memuaskan rasa perutnya untuk dapat hidup lebih lama lagi.
Mataku terus mencari. Mencari sosok yang membuat hatiku pedih. Sosok anak yang membuatku
harus kembali. Kembali untuk memberikan kasih dan sayang. Lama sudah aku
mencari sosok sidekil. Tetapi masih nihil. Tidak dapat aku temukan. Kakiku
melangkah menuju warteg yang berada tak jauh dari perempatan lampu merah.
Bermaksud untuk menanyakan keberadaan sidekil.
“Pak, permisih!”
sapaku pada pemilik warteg
“Iya, ada apa
dek?” jawabnya
“Bapak tahu anak
kecil yang sering berada di lampu merah itu!” tanyaku sambil menunjukan jariku
kearah lampu merah.
“Oh, Ujang
maksud mas yach!” jawab pemilik warteg
“Iya, pak!”
jawabku sekenanya, karena aku sendiri belum tahu namanya. “ lalu sekarang
Ujang kemana
Pak?” ucapku lanjut.
“Ujang sudah
nggak disini lagi mas!” jawabnya pemilik warteg singkat.
“Hem, lalu
dimana Ujang sekarang Pak?” sergahku
“Ujang
kecelakaan, ditabrak mobil! Biasa Mas, tabrak lari” jawabnya pemilik warteg dengan
enteng.
Seketika itu pun
jantungku berdetak keras. Entah kenapa, aku benar-benar khawatir dengan kondisi
Ujang.
“Apa Ujang di
rumah sakit?” tanyaku.
“Nggak mas,
setelah tertabrak Ujang langsung mati mas! Mas apanya Ujang?”
Bagaikan sebuah
cambuk yang mendera ditubuh ini. sekujur tubuhku merasakan rasa sakit yang
teramat. “Saya bukan siapa-siapanya Ujang pak! Kalau gitu permisi dulu pak!”
Pemilik warung
itu hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Langkah kakiku
begitu berat, seraya aral menggelayuti tubuhku. Aku tak kuasa, aku telah terlambat.
Terlambat untuk menolong Ujang. Terlambat untuk menapak pahala yang ada didepan
mata. Terlambat dari segala-galanya. Aku adalah orang terbodoh, aku adalah orang
yang terkejam. Aku adalah orang yang dholim. Anak kecil yang butuh bantuan, uluran
tangan, kasih-sayang tidak dapat aku berikan. Kini ia sudah berada di akhirat. Menanti
surga yang dijanjikan sang penguasa alam. Surga bagi Si suci yang tak tahu akan
dosa. Lamunanku tersentak saat didapanku sosok alim yang aku segani sedang memandangiku.
Terlihat sangat khawatir. Ustad Fadlan.
“Assalamualiakum!”
salam Ustad Fadlan. Saat mendekatiku.
“Walaikumsalam”
jawabku sambil menyalami tangan Ustad Fadlan.
“Khalid, antum
kenapa! Ana lihat antum berjalan dengan perasaan yang bimbang.
Bahkan dengan
tatapan yang menerawang tak tentu apa yang antum lihat! Apakah antum
ada masalah”
sergah ustad Fadlan langsung.
“Nggak ada
apa-apa kok Ustad! Ana cuma sedih, karena tidak dapat menolong mahluk Allah.”
jawabku. “Eh.. ngomong-ngomong Ustad dari mana?” tanyaku langsung.
“Oh… ana baru
dari ngisi kajian dimasjid kampus! Iya, ana sebenarnya ada perlu sama antum.
Ayo antum ikut kerumah sebentar, ada yang perlu ana bicarakan sama antum!
Jelas ustad Fadlan.
Aku hanya
mengangguk, sambil menaiki SupraX yang dikendarai Ustad Fadlan. Motor melaju
dikeramaian jalan yang dipenuhi manusia yang mempunyai hajat mereka masing-masing.
“Khalid, ceritakan apa yang membuat antum
sedih!” pinta Ustad Fadlan.
“Ustad, saat ana
sedang berjalan kerumah antum untuk Liqo’! Ana melihat seorang anak kecil yang
sedang mengais rezeki di perempatan lampu merah. Ana ingin mengajak dia masuk
kerumah singgah, dan ingin memberikan perhatian kepada dia untuk bisa menjadi anak
yang sholeh. Karena saat itu ana sedang terburu-buru. Akhirnya ana menunda, untuk
mengajak dia kerumah singgah. Akhirnya tadi setelah sholat Ashar, ana berencana
ingin bertemu dia. Tetapi saat ana cari, anak itu tidak ada. Akhirnya ana tanya
seorang pemilik warung. Dan ternyata nama anak itu adalah Ujang. Tetapi sayang,
ana terlambat!”
“Maksud antum
terlambat kenapa?” tanya ustad Fadlan
“Anak itu telah
meninggal. Dia korban tabrak lari! Ana sedih karena terlambat menolong anak
itu.” Jawabku menyesal.
Ustad Fadlan
tersenyum, lalu mengatakan “Khalid, semua itu adalah takdir. Antum terlambat
menolong anak itu, bukan berarti antum terlambat. Tetapi memang itu sudah ditakdirkan
oleh Allah. Meskipun antum mengajak anak itu kerumah singgah, tetapi kalau
takdirnya meninggal. Pasti meninggal. Jadi, antum tidak usah terlalu sedih.
Cukuplah antum
mendoakan anak itu. Dan jangan lupa, anak yang belum baliqh. Adalah anak yang
masih suci dari pandangan Allah. Maka anak itu, sudah ditunggu oleh surganya
Allah.” Jelas ustad Fadlan.
Memang taujih
ustad Fadlan, membuatku menjadi lebih tenang.
“Khalid, ana mau
membicarakan sesuatu hal!” sergah ustad Fadlan. Saat aku sedang merenungi apa
yang diucapkan ustad Fadlan.
“Apa itu, ustad?”
tanyaku penasaran.
“Khalid, antum
sekarang sudah hampir menyelesaikan skripsi. Sebentar lagi antum akan menyelesaikan
kuliah. Khalid, ana ada sebuah permintaan! Entah, antum bisa menerimanya apa
tidak! Ana sangat percaya dengan antum, makanya ana ingin meminta sesuatu
kepada antum!” ustad Fadlan memberhentikan perkataannya. Terlihat raut wajahnya
gusar, entah kegusaran apa yang melanda pada diri ustad Fadlan.
“Ustad,
seandainya ana bisa menolong antum. Maka ana akan merasa sangat bangga sekali!
Apa yang bisa ana bantu ustad!” Ucapku mantap.
Ustad Fadlan
menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengatakan “ Khalid, ana punya keponakan
perempuan. Ana diserahi orang tuanya untuk memilihkan seorang pemuda yang
bertanggung jawab, untuk menikah dengan keponakan ana ini! Khalid, apakah antum
bersedia menikah dengan keponakan ana?”
Entah apa yang
terjadi pada diriku. Aku terdiam. Bagaikan sebuah beban berat mendarat pada
diriku. Beban yang aku sendiri tidak kuat untuk memikulnya. Aku termenung. Aku tidak
dapat menolak permintaan seorang yang telah membimbingku. Seorang yang selalu menjadi
orang tuaku. Tapi apakah aku mampu, menikahi seorang wanita yang dilahirkan dari
nasab orang-orang yang istqomah. Nasab orang-orang yang telah berjuang untuk selalu
menyebarkan dakwah Islam ini.
“Khalid, ada
apa? Apakah antum tidak berkenan?” tanya ustad Fadlan, cemas.
Aku tergagap
mendengar ustad Fadlan bertanya seperti itu. Bagaimana aku menolak permintaan
manusia berwibawa seperti ustad Fadlan. Pastilah permintaan dan keputusan ustad
Fadlan memilihku bukan main-main. Pasti dengan pertimbangan yang sangat matang
sekali. Karena ini menyangkut masa depan seseorang. Tetapi apakah aku mampu.
“Bukan begitu
Ustad!” jawabku
“Lalu kenapa?
Apakah antum sudah dijodohkan!” sela ustad Fadlan.
“Tidak, Ustad!
Ana belum dijodohkan. Maksud ana bagini Ustad. Apakah ana pantas menikahi
seorang akhwat yang antum pilihkan itu, Ustad” Jawabku pelan
Ustad Fadlan
tersenyum, lalu mengatakan “Khalid, ana memilih antum dengan pertimbangan-pertimbangan
yang sangat matang.”
“Tapi, Ustad.
Ana belum bekerja. Bagaimana ana akan menghidupi istri ana nanti?”
sergahku.
Ustad Fadlan
tersenyum kembali, sambil mengatakan “Khalid, rezeki dan jodoh Allah yang
mengatur. Janganlah kita khawatir dengan semua itu. Pasti dengan menikah rezeki
akan datang dengan sendirinya. Itu janji Rasulullah. Kalaulah antum belum punya
kerjaan. Nanti kita pikirkan. Yang terpenting, apakah antum bersedia apa tidak?”
ucap ustad Fadlan tegas.
“Ustad, kalaulah
ustad sudah memandang ana pantas menikah. Dan akhwat yang antum pilihkan itu
adalah yang terbaik buat ana. Ana, bersedia ustad!” ucapku lirih.
“Alhamdulillah..
baik kalau gitu kita atur besok.” Ustad Fadlan terlihat sangat senang.
“Ustad. Kalau
boleh tahu, siapa nama akhwatnya?” tanyaku
“Namanya, Zahra!
Insya Allah antum tidak akan kecewa!” ucap ustad Fadlan tegas sambil tersenyum.
Lanjutkan Membaca Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 7