-->

Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 7



Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 7


Dikamar, aku memikirkan apa yang telah aku ucapkan. Entah aku begitu bimbang dengan  perkataanku. Atau mungkin aku terlalu terburu-buru menjawabnya. Aku seharusnya meminta waktu untuk memikirkannya. Aku tak tahu harus berbuat apa.
Kebimbangan menggelayuti diriku. Pikiranku melayang, entah apa yang aku pikirkan. seakan, bayang-bayang sekilas wajah-wajah wanita yang aku kenal berjalan bergantian. Nova, wanita cantik itu berjalan sambil tersenyum padaku. Wajah indonya memukauku. Sungguh kecantikan yang luar biasa dianugerahkan Allah pada gadis kafir itu. Ukhti Farah, bagaikan seorang bidadari yang tersenyum anggun padaku. Wajahnya tertunduk, malu. Sesekali matanya melirikku dan saat aku melihat matanya dia langsung menunduduk. Benar-benar seorang bidadari. Sungguh wanita-wanita dambaan pria.
Tetapi mereka akan lepas dariku. Mereka tidak akan menjadi milikku. Dan aku tidak boleh lagi memikirkan mereka. Memang benar kata teman-temanku kalau “Ikhwan juga manusia, punya rasa cinta juga. Jangan samakan dengan Rasulullah.”
Pagi ini matahari bersinar cerah, secerah suasana yang telah dianugerahkan Allah pada manusia. Tetapi aku masih tetap bimbang. Entah kegusaran apa yang melanda pada sendi-sendi fikirku. Padahal aku akan mendapatkan seorang bidadari pilihan. Seorang yang telah dipilih untuk pendamping hidupku. Dan yang memilihkan bukan orang sembarangan. Beliau merupakan seorang yang aku segani. Karena kewibawaan beliau. Sungguh aku tidak dapat menolak permintaan seorang yang benar-benar mulia. Saat aku akan beranjak pergi. Suara dering telephone mengharuskan aku untuk
mengangkatnya.
“Hallo…!” sapaku
“Hallo… asssalamualaikum!” jawab si penelphone.
“Akhi Khalidnya ada?” tanya si penelephone
“Iya saya sendiri, ini siapa yach?” tanyaku penasaran. Penasaran karena baru dua kali aku ditelephone seorang wanita pagi-pagi.
“Ini Farah!” jawab si penelphone.
Bagaikan sebuah petir menggelegar. Seorang akhwat yang aku kagumi menelephon aku. Saat-saat aku akan menikah dengan seseorang akhwat yang aku tidak mengenalnya.
“Iya, ada apa Ukh?” tanyaku
“Gini Akh, ana butuh bantuan antum! Ana kan lagi ada acara ditempat kajian. Nah ana butuh seorang ikhwan untuk mengisi kajian ditempat ikhwannya. Antum bisa nggak Akh? Ana benar-benar meminta tolong sama antum akh? Soalnya ana nggak begitu kenal banyak para ikhwan, selain antum!”
Entah siapa yang bisa menolak keinginan bidadari. Apalagi dia sangat berharap sekali.
“Kapan, Ukh?” tanyaku
“Nanti jam 8 pagi!” jawabnya
Seorang akhwat yang aku kagumi meminta tolong dengan berharap. Aku tidak dapat menolaknya, tetapi aku juga tidak dapat mengingkari janjiku.
“Afwan, ukh. Ana tidak bisa menuruti rencana anti! Ana ada janji ukh” Jawabku singkat.
“Oh.. kalau gitu afwan yach Akh! Syukron atas waktunya. Assalamualaikum!” ucap Farah, terdengar sangat kecewa.
“Walaikumsalam” jawabku. Sedih sekali menyakiti hati seorang yang aku kagumi. Aku tutup gagang telphone. Dan berangkat pergi kerumah ustad Fadlan. Janji untuk melihat seorang calon pendamping hidupku. Pendamping yang akan mendampingiku dalam segala hal. Dalam perjalanan menuju rumah ustad Fadlan untuk berta’aruf dengan seorang akhwat yang akan dijadikan calon istriku. Aku naik angkot. Itung-itung biar nggak malu karena bau keringat. Nggak lucu, kalau mau ta’aruf si akhwat bersin-bersin saat ngobrol dengan aku. Karena mencium aroma minyak wangi alami. Tetapi, pikiranku terus menarawang jauh. Menerawang dalam asa pikir yang tak terjangkau. Sungguh aku benar-benar bingung. Bingung dengan kejadian semua ini. Aku menjadi takut, ragu dan juga bimbang. Karena aku belum memberitahukan kabar yang sangat penting ini kepada kedua orang tuaku. Mungkin kedua orang tuaku akan mengatakan “Waduh, disekolahkan tinggi-tinggi kok yach nikah nggak bilang-bilang!” atau “Khalid, nikah ya kok nggak minta restu orang tua!” atau malah yang lebih parah “Nikah kok nggak bilang, sama orang tua. Apa sudah nggak butuh lagi sama orang tua!”
Aku benar-benar bingung. Angkot melaju dalam kecepatan yang tak terlalu tinggi. Biasalah, angkot perkotaan jalannya seperti kura-kura. Silih bargantinya penumpang juga seperti ikan asin yang digoreng. Kalau sudah waktunya matang langsung diangkat biar nggak gosong. Hem, emang apa hubungannya. Aku masih bimbang dalam perasaan yang tak menentu. Perasaan yang membuatku akan menjadi ragu. Ragu dalam ketidaksadaran akan pernikahan yang terlalu cepat. Bagiku. Tetapi aku memang mengharapkan untuk menikah. Tetapi bukan pernikahan yang seperti ini. Terlihat dipaksakan sekali. Entahlah perasaanku benar-benar berkecambuk.
“Mas, mau turun dimana?” ucap supir angkot mengagetkan lamunanku.
“Oh, mau turun di Jl. Teungku Umar pak!” jawabku sekenanya.
“Mas ini gimana, ya sudah kelewatan! Inikan sudah diterminal” kata supir angkot, enteng.
“Waduh, sama juga bo’ong! Jalan… jalan deh” gumamku lirih.
Aku rogoh uang ribuan untuk bayar angkot. Setelah itu aku berjalan menuju rumah Ustad Fadlan. Jarak rumah ustad Fadlan dengan terminal sekitar 1 km. Cukup untuk memeras keringat. Berjalan dalam persimpangan gang-gang perumahan. Tak jarang beberapa anak-anak kecil perumahan yang sedang terlihat bermain ayunan. Mereka riang, gembira. Mereka benar-benar manusia suci, sebelum mengetahui kekotoran dan kekejian dunia ini.
Rumah ustad Fadlan sudah terlihat. Tak seperti biasanya. Ada sebuah mobil sedan parkir didepan rumah ustad Fadlan. Langkah demi langkah kakiku sangat berat. Bagaikan berjalan dengan beban berat yang teramat sangat. Kakiku telah menapaki pekarangan rumah ustad Fadlan. Tinggal selangkah lagi, aku sudah sampai didepan pintu. Kakiku semakin berat, sungguh berat sekali. Akhirnya, setelah dengan perjuangan yang melelahkan. Aku sudah berada didepan pintu rumah ustad Fadlan. Kini saatnya aku harus berjuang kembali. Mengumpulkan sisa-sisa energiku, untuk bisa mengetuk pintu yang sudah tepat berada didepanku.
“Tok…tok…tok! Assalamualaikum” entah tangan siapa itu, yang pasti bukan aku yang menggerakkan tanganku. Nah lalu siapa?
“Walaikumsalam!” jawab seisi rumah.
“Deg….” Seketika jantungku bagaikan berhenti. Aku sudah ditunggu, sudah banyak
orang yang berada dirumah ustad Fadlan. Pasti mereka menantikan aku. Pikirku.
Seseorang membuka pintu.
“Khalid!” serta merta ustad Fadlan memelukku erat. Pelukan sebuah persaudaraan. Atau mungkin layaknya pelukan seorang Bapak pada anaknya. “Ayo, masuk Khalid!” ucap
ustad Fadlan.
“Sebentar yach Khalid! Masih ada tamu, biasa pertemuan pengurus masjid perumahan”
kata Ustad Fadlan sambil mempersilahkan aku masuk ke bilik tengah.
“Iya, Ustad!” aku langsung memasuki ruangan bilik tengah.


Ruang yang biasanya dipakai oleh ustadzah Heni untuk mengisi kajian. Terlihat deretan tengah terpampang tabir (kain pembatas) antara laki-laki dan wanita. Aku masuk dalam ruang itu, sesuai dengan perintah ustad Fadlan.
Alhamdulillah, ternyata pikiranku salah! Aku benar-benar mengira kalau itu keluarga si Akhwat. Hem.. pasti aku akan benar-benar kikuk kalau bertemu dengan si Akhwat Sekarang. Gumamku sendiri
Tak seberapa lama ustad Fadlan datang dengan istrinya. Ustadzah Heni. Dengan cepat ustadzah Heni langsung masuk pada ruangan tabir kedua.
“Gimana, ustad? Apa sudah selesai!” ucapku membuka percakapan.
“Alhamdulillah. Semuanya lancar!” jawab ustad Fadlan dengan senyum.
“Untuk ta’arufnya, jadi nggak ustad?” tanyaku penasaran.
“Ya pasti jadi, Akh! Nah akhwatnya kan sudah dari tadi diruang tabir kedua” Jawab Ustad Fadlan.
Hatiku bagaikan diterjang gelombang pasang yang besar. Karena pastilah gumamku didengar jelas si Akhwat. Entah, apakah aku masih siap menatap si Akhwat. Karena rasa malu ku sudah teramat sangat.
“Oh!” kataku pasrah.
Ustad Fadlan hanya tersenyum.
“Assalamualaikum” terdengar ustadzah Heni, istri ustad Fadlan mengucap salam dari balik tabir.
“Walaikumsalam” serempak aku dan ustad Fadlan menjawab salam.
“Gimana Bi, apa sudah bisa dimulai proses ta’arufnya” tanya ustadzah Heni pada ustad Fadlan.
“Iya, bisa langsung dimulai!” ucap ustad Fadlan. “Silakan akh Khalid, untuk menanyakan sesuatu hal yang ingin antum tanyakan” ucap lanjut ustad Fadlan, mempersilahkan.
Aku benar-benar kikuk. Entah malu, atau bahkan malu-maluin. Mulutku bagaikan terkunci. Berat sekali untuk membuka sebuah percakapan. Apalagi bertanya tentang sesuatu hal pada si Akhwat.
“Ehm…” ustad Fadlan memperingatkan aku untuk segera bertanya.

Tak seberapa lama langsung ustadzah Heni berkata “Abi, biarkan akh Khalid. Biasalah, perjumpaan pertama sama-sama malu. Nanti juga kalau sudah jadi suami istri, pasti sama-sama mau”
Ustad Fadlan langsung tertawa, sambil mengatakan “Umi, ada-ada saja!”
Aku hanya tersenyum malu. Entah, mungkin si Akhwat juga tersenyum malu dibalik tabir.
“Assalamualaikum, Ukhti” salamku pada si Akhwat.
“Walaikumsalam” jawab si Akhwat dengan lembut.
Sejenak hatiku berdesir. Mendengar suara si Akhwat yang benar-benar lembut. Sungguh kelembutan suara yang pernah aku dengar. Kelembutan suara yang membuat bulukudukku merinding. Tetapi tetap, aku tidak boleh tertipu suaranya.
“Nama anti, ukhti Zahra?” tanyaku
“Iya!” jawabnya singkat
“Ukhti, sudah kerja apa masih kuliah” tanyaku.
“Ana, masih kuliah!” jawabnya singkat.
“Apa anti sudah siap, menikah dengan ana Ukh?” tanyaku lagi
“Ana, siap!” jawabnya. Lagi-lagi dengan singkat.
“Ana cuma mau mengingatkan anti. Kalau ana, belum kerja! Masih berstatus mahasiswa. Dan keluarga ana tidak begitu kaya. Bisa digolongkan, dari golongan menengah
kebawah” kataku menakut-nakuti.
“Akhi, ana pengen menikah dengan antum bukan karena harta antum. Atau bahkan jaminan antum! Kalaulah antum belum bekerja. Asal antum mau, pasti ada pekerjaan buat antum! Ana cuma mengingatkan antum saja. Bahwa antum, tidak akan bisa memberikan ana jaminan kepastian untuk bisa menghidupi ana! Kalaulah ana menikah dengan antum, antum bukanlah penjamin hidup ana. Atau bahkan bisa memberikan nafkah kepada ana! Allahlah yang menjamin rezeki tiap-tiap umatnya. Lalu kenapa kita harus takut untuk melangkah dalam pernikahan, karena alasan soal rezeki atau nafkah.
Semua serahkan ke Allah. Kalau ana jadi istri antum, ana siap hidup menderita karena harta. Tetapi berlimpah-limpah keimanan! Dan ingat akh, menikah juga termasuk salah satu pintu rezeki!
Subhanallah ucapku lirih dalam hati. Yaa Allah, aku siap menikah sekarang juga, kalau engkau memang memberikan bidadari ini padaku. Ucapannya lembut, tutur katanya santun. Tidak menggurui. Tetapi tetap, dalam dihati. Sungguh bidadari yang turun kebumi. Entah siapa dia. Pokoknya aku sudah tidak butuh lagi wajah cantiknya. Aku tidak butuh lagi keindahan dan kemerduan suaranya. Asal wanita ini siap berjalan denganku menuju Jannah Illahi. Aku akan menikahinya. Tetapi tetap, kalau bisa yang cantik dan mempunyai kemerduan suara yang seperti ini.
“Akh Khalid! Antum kenapa melamun” suara ustad Fadlan mengagetkanku.
“Oh, tidak ada apa-apa ustad” jawabku sekananya. “Ukhti, apakah anti benar-benar siap menikah dengan ana?” tanyaku.
“Ana siap, sesiap antum yang telah meluangkan waktu untuk hadir disini!” ucap si akhwat serius.
Sebenarnya aku jadi malu sendiri. Karena sebenarnya aku sama sekali belum siap. Belum siap untuk menikah secepatnya ini. Tetapi mungkin bukan belum siap, hanya kaget saja.
“Afwan ukhti, bukan maksud ana ingin menyinggung atau bahkan menyakiti perasaan anti! Ana hanya ingin meminta sesuatu hal sebelum kita menikah”
“Apa itu akhi?” sela Akhwat terlihat dengan nada cemas.
“Seperti dalam sebuah hadist muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menuturkan Aku berada di sisi Rasulullah, lalu seseorang datang kepada beliau untuk memberitahukan bahwa dirinya ingin menikahi seorang wanita Anshar, maka Rasulullah bertanya : “Apakah engkau telah melihatnya?” Ia menjawab: “Belum.” Rasulullah bersabda: “Pergilah dan lihatlah dia ; sebab di mata orang-orang Anshar ada sesuatu”
Maksud ana, bahwa sebenarnya saat kita akan menikahi seseorang. Maka kita diperbolehkan untuk melihat orang yang akan kita nikahi! Apakah ana boleh melihat anti” Jelasku
Entah kenapa suasana menjadi hening. Hanya terdengar sayup-sayup bisikan antara akhwat dan ustadzah Heni. Tak lama ustadzah Heni keluar dari tabir, sambil membuka sedikit kain tabir yang memanjang itu. Lalu ustadzah Heni, memanggil suaminya. Ustad Fadlan. Tak lama setelah mereka berdua berbincang-bincang. Ustad Fadlan mendatangiku.
“Akh Khalid, apa antum sudah selesai dengan semua pertanyaan antum?” tanya ustad
Fadlan.
Aku hanya mengangguk. Menandakan selesai.
Hem, mungkin si akhwat malu kalau dilihat langsung. Ya sudahlah! gumamku dalam hati, agak menyesal.
“Kalau begitu, silahkan antum melihat calon antum” ucap ustad Fadlan mempersilahkanaku melihat dari balik tabir yang terbuka.
Alhamdulillah ucapku syukur dalam hati. Minimal aku bisa melihat wajah calon istriku. Kalaulah dia tidak secantik dugaanku, tetapi aku sudah melihatnya. Maka aku tidak akan pernah kecewa dengan dia. Tetapi seadainya dia cantik. Mungkin Allah memang bermaksud memberikan aku ujian. Ujian menerima istri yang cantik, tentunya.
Aku melangkah menuju tabir yang sedikit terbuka. Jantungku berdegup kencang, seakan-akan jantung ini ingin meloncat keluar. Tubuhku menjadi panas dingin dan tanganku bergetar. Aku benar-benar gugup sekali. Entah kenapa. Saat tanganku menggapai kain tabir, mencoba untuk melihat. Masya Allah.
Lututku menjadi lemas. Tubuhku pun tak ayal menjadi lemas, ingin ku terjatuh.
Tetapi aku masih tetap berusaha mempertahankan kondisi tubuhku. Keringat dingin pun mengucur lirih dalam pelipis keningku. Mataku pun sangat susah untuk berkedip, bagaikan aku melihat sebuah bencana besar. Jantung dan nafasku pun, bagaikan terhenti. Mulutku tidak dapat berkata apapun. Semuanya kaku.
“Akh Khalid! Antum sudah selesai?” tegur ustad Fadlan, mengagetkanku.
“I..ya ustad, sudah selesai!” ucapku terbata-bata.
Serta mertapun ustad Fadlan menutup kain tabir itu kembali. Menghilangkan pandangan yang membuat mati rasa tubuhku. Sungguh benar-benar diluar dugaanku. Diluar kesadaran manusia. Sungguh perencanan Maha perencanaan yang sangat matang. Maha mengetahui kegelisahan hati hambanya. Maha mengetahui akan kebutuhan hambanya.
Dan Maha membuat kehidupan hambanya lebih berarti. Aku masih tetap terdiam.
Terpaku dan membisu, tidak dapat berkata apapun. Tubuhku masih tetap merasa sangat lemas. Teapi kini mulut dan hatiku, akhirnya bisa aku kuasai. Kini aku bisa mengucap syukur dan takbir, berkali-kali.
“Apa ada pertanyaan lagi, Akh?” ucap Akhwat, dibalik tabir.
“Masih, ada? Ana mau bertanya tiga hal!” ucapku.
“Apa itu, akhi?” ucapnya lembut
lagi-lagi suara ini membuat jantungku lemah. Sungguh kemerduan sebuah suara bidadari dunia.
“Sebenarnya, nama lengkap anti siapa?” ucapku
“Nama ana, Farah Zahrani! Kalau dikampus biasa dipanggil Farah, tetapi kalau untuk dirumah ana dipanggil Zahra”


“Apakah anti tahu, kalau anti akan dijodohkan dengan ana?” tanyaku lagi
“Ana tahu! Dan ana setuju saat keluarga menjodohkan ana dengan antum” ucapnya lembut.
“Satu lagi. Kalaulah anti tahu, lalu kenapa anti meminta ana untuk mengisi kajian yang anti selenggarakan” tanyaku, dengan nada yang agak bingung
“Akhi, apa antum lupa kalau antum dulu sering ngetest para akhwat! Nah sekarang ana, gantian akhwat yang ngetest antum. Tetapi Alhamdulillah, paman ana. Ustad Fadlan. Tidak salah memilihkan seorang ikhwan yang akan menjadi suami ana kelak” ucap Farah dengan kelembutan hati dan suara.
Ustad Fadlan terlihat hanya tersenyum, sambil mengangguk-agukkan kepala. Sungguh benar-benar kenikmatan yang tiadatara. Aku telah mendapatkan bidadari dunia. Yang akan mendapingiku selama-lamanya. Bahkan diakhirat kelak, dia akan menjadi bidadariku. Tak henti-hentinya ucapan takhmid dan takbir, berkumandang lirih dimulutku.
“Terima kasih ukh! Sudah semua pertanyaan ana” kataku, sambil melihat dan menganggukan kepala pada ustad Fadlan.
“Baik, kalau gitu kita sudahi dulu acara ta’aruf kita ini. Tinggal penghitbahannya! Ana akan telphone antum jika sudah matang rencananya” ucap Ustad Fadlan.
Aku hanya mengangguk pelan.

Dalam perjalanan pulang kerumah kontrakan. Cuaca begitu panas dan terik, tak aku rasakan. Langkahku mantap, menapaki perjalanan dalam setiap panas yang menyengat tubuh ini. Sungguh, aku benar-benar sangat gembira. Entah kegembiraanku karena akan menikahi wanita cantik, atau karena menikah dengan gadis impian. Farah Zahrani. Yang terpenting bahwa aku telah mendapatkan seorang bidadari. Seorang wanita yang sempurna dalam segala hal. Wajah, tubuh, kecantikannya tidaklah membuat Farah lupa dengan menjaga kesempurnaannya Jilbab.
Lalu lalang mobil dan motor yang sedang hilir mudik. Bagaikan sebuah pernak-pernik hiasan dunia. Manakala hati benar-benar telah dirasuki cinta. Cinta, ya benar kata itu yang tepat untukku saat ini. Entah apakah perasaanku ini sudah bisa disebut cinta.
Cinta memang membuat orang buta. Cinta membuat orang menjadi lupa, terlena hingga akhirnya terjebak dengan kata cinta. Cinta, tak ayal adalah kata yang selalu menghiasi para laki-laki dan perempuan didunia ini. Cinta, selalu membuat keleluasaan manusia dalam menghalalkan segalanya. Cinta, yang akhirnya menjadikan orang benar-benar terlihat gila. Entah apa makna cinta. Kata orang, cinta itu adalah perasaan yang berbunga Fajar bunga saat berdekatan dengan yang dicintainya. Lalu kata pelajar, cinta adalah rasa senang saat berduaan dengan yang dicintainya. Kata remaja, cinta adalah gabungan rasa antara dua lawan jenis yang sedang dilanda asmara. Atau kata sufi, cinta adalah rasa penghambaan diri pada sang pencipta. Entah mana yang benar. Tetapi menurutku apa yang dikatakan Ibn al-Qayyim ada benarnya “cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definis cinta adalah cinta itu sendiri.”
Tapak kaki terus berjalan. Menembus rintangan-rintangan aspal yang bergelombang, bergelombang karena tergerus arus deras air hujan yang menjatuhkan diri didaerah perkotaan. Lubang-lubang tanah aspal yang tak beraturan, terus aku terjang. Tak pernah aku perdulikan. Karena memang, seharusnya yang memperdulikan pemerintahan.
Terus aku melangkah, dalam setiap rasa panas yang mendera. Kini tinggal beberapa blok saja, aku sudah sampai dirumah kontrakan. Tak terasa didepan sudah terlihat rumah kontrakanku. Bergegas aku mempercepat langkahku. Kini aku sudah berada pada titik awal pintu masuk rumah. Sebelum menuju titik kedua pintu rumah. Kamarku. Aku rogoh saku celana kusamku, mencari kunci dari rumah kontrakanku.
Lega rasanya sudah masuk rumah. Berteguk-teguk air putih, telah menghilangkan dahagaku. Aku rebahkan tubuhku dikasur. Sungguh terasa nikmat sekali. Setelah berjalan menerjang panas, lubang-lubang aspal yang membara. Kini, aku tinggal marasakan kesejukan semilir sepoi kipas angin berputar. Wajah Farah, hadir kembali dalam ingatanku. Rongga-rongga otakku layak sebuah poros yang berputar, hanya untuk memikirkan satu orang. Farah. Kecantikannya benar-benar luar biasa. Berbalut jilbab yang besar, layak sebuah prisai yang tak akan pernah bisa ditembus. Sungguh kehormatan yang luar biasa bagiku. Bisa memperistri dia. Aku takkan takut-takut lagi untuk memberitahukan kepada keluarga, tentang rencana pernikahanku. Entahlah, mungkin aku akan dikira oleh keluargaku sudah nggak tahan pengen nikah. Atau mungkin, orang-orang desa mengira kalau aku menghamili anak orang. Hingga pengen cepat-cepat menikah. Memang begitulah orang kampung. Kalau ada seorang pemuda yang berpacaran mereka melihatnya biasa. Kalau ada pemuda yang bertunangan mereka menganggap luar biasa. Hingga layaknya sebuah pertunangan adalah pesta pernikahan.
Dan membiarkan anaknya, yang hanya sekedar bertunangan dilepas bagai seorang yang sudah menikah. Mereka menganggap pertunangan hanya sekedar pelegalan hubungan mereka. Mereka lupa dengan hukum-hukum Islam. Sangat lupa atau bahkan tidak mengerti sama sekali.
Orang yang ingin menikah muda, malah sering dibilang nafsunya besar, atau hamil diluar nikah. Kalau alasan yang kedua ini sering sekali. Mereka tidak menganggap orang yang ingin menikah muda, adalah seorang yang ingin menjaga kehormatannya. Baik kehormatan bagi pemuda itu maupun kehormatan bagi keluarga. Seorang yang menikah muda, tidak diidetikkan seorang yang menjaga agamanya. Tapi malah dibilang yang nggak karuan. Tetapi aku yakin, dengan pemahaman Bapak yang begitu luas. Pasti Bapak tidak akan menganggap jelek pernikahannku. Apalagi Ibu. Seorang wanita yang  selalu membimbingku dalam setiap langkah perbuatan kebaikan “Jikalau itu adalah kebaikan maka janganlah engkau ragu ikut dengan kebaikan itu” ucap Ibu saat-saat aku akan meninggalkan beliau. Sungguh mulia kedua orang tuaku. Kalau untuk adekku, Nurul. Dia pasti akan mendukungku. Karena dari dulu Nurul ingin mempunyai kakak perempuan yang cantik dan baik hati.
Aku bangkit dari kasur kusamku, mengambil alat tulis. Dari pada telphone, lebih baik aku kirim surat untuk memudahkan maksud. Aku akan memberitahukan keluarga dikampung, kalau sebentar lagi aku akan menikah. Menikah dengan seorang wanita yang sempurna. Sempurna karena kecantikan hatinya. Dan kekuatan iman yang menopang kecantikannya. Hingga dia pantas disebut. Sang bidadari.

Assalamulaikum wr, wb.
Untuk Bapak dan ibu yang berada dikampung Serta Nurul adekku.
Bapak dan Ibu yang dimuliakan oleh Allah
Bagaimana kabar keluarga disana? Khalid harap, baik-baik saja. Karena Khalid disini alhamdulillah juga baik-baik saja. Sekolah Nurul bagaiamana? Apa sudah ujian?
Semoga Nurul tetap giat dalam belajar. Alhamdulillah Khalid sudah melaksanakan skripsi dan Insya Allah akan selesai kuliah ditahun-tahun ini. Dikota, Khalid juga sudah bekerja. Alhamdulillah Khalid selalu dapat beasiswa dan tulisan-tulisan yang Khalid kirim ke media sering dimuat. Jadi Khalid masih belum membutuhkan uang. Bapak Ibu tidak usah mengkhawatirkan Khalid dikota. Alhamdulillah untuk masalah biaya kuliah dan kehidupan Khalid sehari-hari, sudah tercukupi.
Bapak dan Ibu. Sehubungan dengan Khalid menulis surat ini. Ada suatu hal yang sangat penting sekali, yang ingin Khalid sampaikan. Yaitu berkenaan dengan pernikahan. Khalid telah bertemu dengan seorang wanita yang sangat baik. Wanita ini adalah teman sekuliah Khalid. Namanya Farah Zahrani. Farah adalah muslimah yang berjilbab. Dan selalu menjalankan perintah agama Islam dengan taat. Tiada yang tersisa dari sunnah dan hukum Islam yang dia lalaikan. Sungguh, Khalid benar-benar bangga dan senang yang teramat sangat. Jika Farah Zahrani menjadi istri Khalid. Khalid sebenarnya sudah berencana akan menikah ditahun ini. Bapak dan Ibu tidak usah khawatir masalah pernikahan kami ini. Karena memang tidak ada masalah dalam pernikahan kami. Tidak seperti yang dilakukan oleh teman-teman Khalid didesa. Yang menikah cepat karena ada sesuatu yang terlanjur. Seperti hamil diluar nikah. Khalid dan Farah tidak pernah berpacaran. Kamipun tidak pernah berduaan.
Jadi, seorang wanita yang bernama Farah Zahrani. Adalah seorang muslimah yang beriman. Bapak dan Ibu pasti akan rugi sekali jika tidak menjadikan Farah menantu Bapak dan Ibu. Keluarga Farah Zahrani, adalah seorang ulama dikota. Dan Farah Zahrani termasuk saudara ustadnya Khalid. Jadi Khalid pasti sangat beruntung jika mempunyai istri Farah. Bapak dan Ibu. Khalid mengharapkan sekali restu Bapak dan Ibu.

Demikian surat Khalid. Semoga Bapak dan Ibu dapat mengerti keinginan Khalid.
Salam sungkem kepada Bapak dan Ibu. Semoga Allah selalu membimbing kita.
Wassalamualaikum wr, wb.

Khalid Hendriansyah

Selesai sudah menulis surat untuk kedua orang tuaku. Kini tinggal mengamplopinya dan membelikan perangko. Setelah itu besok langsung dikirim. Kilat khusus.
Aku nyalakan tipe simbaku. Tak lama nasyid penggerak semangat pun berkumandang.
“Islam adalah satu, satu iman satu hati satu jiwa adilnya tertinggi dihadapan Rabbi…”
Aku merebahkan tubuh ini. Capek yang aku rasakan cukup membuat kantukku tak tertahan. Bayangan-bayangan perjuangan pun merasuk dalam angan.

Lanjutkan Membaca Novel Bidadari Untuk Ikhwan Jilid 8 - 12